MUSA ke kamar kecil. Ia mandi dan kembali ke kamar tidur dalam hitungan menit. Ia terbiasa dengan gerak cepat. Latihan militer GAM telah mendidiknya seperti itu.
Namun saat di kamar, Ihsan ternyata sudah terlelap. Pria berbadan besar dan tinggi itu, tidur mendengkur dengan posisi terlentang.
Musa bersalin dan kemudian memutuskan untuk tidur di samping Ihsan. Ia pun ikut terlelap tak lama kemudian.
Musa baru bangun jelang salat Ashar tiba. Saat bangun, ia melihat sajadah berada di sisi kirinya. Sedangkan Ihsan sudah berpakaian rapi.
“Kau salat di kamar saja. Mandi dulu biar segar. Aku keluar sebentar membeli minuman dan kue. Aku pikir kita harus banyak berdiskusi dan ada beberapa titipan pertanyaan dari kawan-kawan yang berada di Yogya,” ujar Ihsan. Musa tersenyum dan mengangguk.
Ihsan keluar rumah. Ia berjalan menuju warung hanya dengan berjalan kaki. Memang, jaraknya hanya beberapa meter. Di warung, Ihsan membeli kacang, pisang goreng dan kopi ginseng.
Ia kemudian membawa bungkusan tadi dalam kamar. Di kamar, Musa terlihat sedang salat. Usai meletakkan bungkusan di atas meja belajar, Ihsan menuju dapur dan mengambil dua gelas kosong serta piring plastik lalu kembali ke kamar.
Ia menuangkan kopi ginseng dalam gelas. Sedangkan pisang goreng diletakkan dalam piring. Ia kemudian terdiam beberapa menit hingga akhirnya Musa selesai salat.
“Ayo minum-lah dulu. Aku beli kopi ginseng kesukaanmu. Ini masih hangat,” kata Ihsan sambil menyerahkan segelas kopi. Musa tersenyum saat menerima kopi tersebut.
“Kau tahu, aku menyukai kopi ginseng karena keseringan minum saat nongkrong bersamamu di Yogya. Sekarang saat bersama pasukan-pun, mereka jadi sering membuat kopi ginseng ini,” kata Musa.
Ihsan tersenyum.
“Dulu aku tak percaya, kau pulang demi bergabung dengan GAM. Baru saat aku pulang ke Aceh, diberitahu oleh Tentara Nanggroe. Makanya aku ingin bertemu denganmu, dan baru sekarang bisa terwujud,” ujar Ihsan.
“Kau ternyata sudah jadi sosok yang cukup disegani di GAM-Pase. Bertemu denganmu sangat susah. Padahal, saat datang ke Yogya dulu kau sangat culun,” kata Ihsan lagi.
“Ya, aku ingat saat awal jumpa denganmu, Papi. Saat itu aku memperkenalkan diri sebagai alumni SMA Krueng Mane. Makanya kau tertarik dan mau berteman denganku. Kita kemudian sering nongkrong bersama,” kata Musa tertawa. Sedangkan Ihsan hanya tersenyum.
“Ya, aku sebenarnya masih ingin berlama-lama di Yogya. Tempatnya asyik. Hiburan banyak. Bisa kemana saja. Sedangkan di Aceh, selama konflik jadi tak bebas. Namun ibuku menyuruh pulang, ya jadilah seperti sekarang,” ujar Ihsan.
Mereka kemudian terdiam. Ihsan menyeruput kopi. Demikian juga dengan Musa.
“Oya, sebelum pulang aku sempat bertemu dengan gadismu? Ia sekarang jadi muslimah tulen. Jilbabnya panjang dan kian menawan. Ia amat sangat cantik dengan penampilan sekarang,” kata Ihsan lagi.
Namun Musa justru tak merespon perkataan Ihsan. Keningnya tampak berkerut.
“Itu, si gadis Yogya yang tergila-gila samamu. Siapa namanya? Aku lupa. Kalau tak salah, Rani, ya..Rani,” ujar Ihsan.
Mendengar nama itu, Musa cuma tersenyum. Ia kembali meneguk kopi. Di ambilnya sepotong pisang goreng dan kemudian dilahapnya dengan santai.
“Bukan. Hanya teman biasa. Adik letting di Mapala,” ujar Musa kemudian. Musa kembali mengambil sepotong pisang goreng dan dilahapnya lagi. Ihsan juga melakukan hal yang sama.
“Ah, bohong. Ia beberapa kali bilang sama aku, bahwa ia suka sama kamu. Minta dijodohkan,” kata Ihsan. “Gila kamu. Cewek secantik itu ditinggali begitu saja.”
Musa terdiam. Sedangkan Ihsan tersenyum lebar. Ia senang telah menemukan kelemahan Musa.
Musa meletakkan gelas kopinya di lantai. Wajahnya tiba-tiba terlihat serius.
“Begini. Aku ingin menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Pertama, benar ia cantik dan sangat cantik malah, terutama untuk ukuranku. Kedua, benar jika ia suka padaku. Ketiga, aku hanya menganggap-nya teman dan adik letting. Aku tidak ada hubungan apapun dengannya. Ini sudah aku sampaikan berulang kali padanya dan ia memakluminya,” ujar Musa.
Musa terdiam usai menjelaskan hal tadi. Ihsan merasa tak enak. Apalagi ia mendapat titipan pertanyaan dari Rani yang belum ditanyakan ke sosok di depannya itu.
Mereka kembali terdiam.
“Sebenarnya, sebelum pulang, aku ketemu dengan Rani. Ia titip satu pertanyaan padaku untukmu. Ini jika ketemu di Aceh, katanya. Apa benar kamu tidak mau bersamanya karena ia terlahir dari suku Jawa?” tanya Ihsan.
Musa terkejut mendengar perkataan Ihsan. Terlebih, pertanyaan itu merupakan amanah Rani.
“Demi tuhan, itu tak benar. Aku tak pernah membenci orang Jawa. GAM cuma marah dan menuntut keadilan sama pemerintah pusat di Jakarta, bukan sama orang Jawa. Sejak bergabung bersama Tentara Nanggroe, aku malah bertemu dengan banyak orang Jawa yang ternyata merupakan prajurit GAM,” kata Musa.
Suasana tiba-tiba hening. Baik Ihsan maupun Musa terdiam tanpa kata-kata. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga:
Discussion about this post