IHSAN menyisir satu per satu rumah di komplek Paloh Lada. Saat yakin kalau ia telah tiba di alamat yang benar seperti yang di SMS oleh Musa, mobil yang disopiri-nya segera menepi.
Ia memarkir mobil serta mengetuk pintu rumah tadi. Namun hingga beberapa saat tak ada jawaban.
Tiba-tiba tirai jendela samping pintu sedikit terangkat. Sepasang mata mengintip ke luar. Ihsan yakin kalau itu adalah Musa. Sosok itu sepertinya sangat hati-hati.
Musa tak langsung membuka pintu. Dari dalam terdengar orang berbicara. Sepertinya Musa sedang izin pamit pada pemilik rumah. Ihsan yakin bahwa rumah tersebut bukanlah milik keluarga Musa.
Beberapa menit kemudian, pintu rumah terbuka. Musa muncul dari belakang. Sosok itu terlihat kian kurus. Kulitnya tambah coklat. Urat tangan terlihat jelas. Namun, tot-otot pada tubuh Musa kian kekar. Alam ternyata telah mendidik sosok itu menjadi seorang prajurit sejati.
Tangan kanan Musa memegang kantong plastic yang berisi baju. Raut wajahnya menyiratkan kerasnya hari-hari yang dilalui selama ini. Namun baju yang dikenakan tampak bagus. Musa berpenampilan seperti orang kota serta jauh dari kesan Tentara Nanggroe.
“Apakah Papi hanya menatapku seperti itu,” ujar Musa tiba-tiba.
Perkataan Musa ini membuat Ihsan tersentak. Ia kemudian memeluk sosok itu erat-erat.
“Aku kangen sama kamu, kawan,” ujarnya sambil memeluk.
Sedangkan Musa hanya tersenyum. Mereka terdiam beberapa saat.
“Kalau bisa, aku ingin segera keluar dari tempat ini. Aku khawatir dengan keamanan di komplek ini,” kata Musa. Ihsan mengangguk.
Ia melepaskan pelukan.
Ihsan kemudian mengajak Musa untuk masuk ke mobil. Keduanya berjalan beriringan, dan Musa segera menduduki posisi di samping supir. Sedangkan Hamdani sudah lebih dulu pindah ke belakang. Hamdani tersenyum saat melihat Musa. Ia akhirnya bertemu dengan sosok yang selama ini sering diceritakan Ihsan.
Mobil Kijang LX itu akhirnya kembali melaju dengan kecepatan sedang.
“Kamu mau saya antarkan kemana?” tanya Ihsan tiba-tiba.
Namun Musa tak langsung menjawab. Ia sepertinya bimbang atau memang tak ada sasaran hendak kemana.
“Kemana saja, Papi. Aku belum bisa bergabung dengan pasukan. Keadaan sedang tak aman. Pasukan D1 pindah-pindah tempat. Sedangkan Mualem dan Bang Yan berada di pedalaman. Kamu boleh menempatkan aku di mana saja, asal aman,” ujar Musa kemudian.
Kening Ihsan sedikit berkerut. Ia mengerti kesusahan yang dialami Tentara Nanggroe selama konflik.
“Kalau begitu, kamu tinggal di rumahku saja. Kalau sudah aman, baru aku antar kamu ke tempat yang ingin kau tuju. Bagaimana? Setuju!” ujar Ihsan. Musa mengangguk.
Mobil Kijang LX abu-abu itu melaju hingga akhirnya tiba di Gampong Cot Seurani. Mobil menepi di depan rumah Hamdani dan aparatur gampong itu turun.
“Terima kasih. Nanti malam kita ngopi, Musa,” ujar Hamdani sambil melambai tangan. Musa mengangguk.
Ihsan melanjutkan perjalanan. Namun hanya sekitar 300 meter dari rumah Hamdani, mobil kembali berhenti.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah mewah. Rumah itu milik keluarga Ihsan. Musa tersenyum dari dalam mobil. Rumah keluarga Ihsan berada di dekat meunasah Cot Seurani.
“Aku tahu kau anak orang kaya selama di Yogya, Papi. Namun tak kusangka kalau keluargamu sekaya ini,” ujar Musa. Ihsan tertawa.
Ihsan membuka pintu rumah.
Di ruang tamu, ada dua orang wanita. Mereka adalah ibu dan saudara-nya, Ihsan. Mereka seperti sedang diskusi. Namun entah apa yang sebenarnya sedang dibicarakan. Pasalnya, saat Ihsan masuk, diskusi itu tiba-tiba terhenti.
Namun Ihsan tak mau ambil pusing dengan apa yang dibicarakan mereka. Musa menyusul di belakangnya.
“Mak. Ini kawanku yang baru pulang dari UGM, Yogyakarta. Ia akan tinggal bersama kita beberapa hari. Semoga kalian tidak keberatan,” kata Ihsan. Musa yang berdiri di sisi kirinya hanya tersenyum.
“Namanya, Musa. Musa, ini saudara dan ibuku,” kata Ihsan lagi sambil memperkenalkan keluarganya.
Saudara dan ibu Ihsan tersenyum. Mereka kompak mengangguk.
“Tak apa. Anggap aja seperti rumah sendiri,” ujar sang ibu.
Ihsan kemudian mengajak Musa menuju kamarnya. Kamar tersebut lumayan luas. Ranjangnya besar. Bisa ditempati tiga orang. Musa tersenyum.
“Bajumu, simpan di lemariku saja. Di tingkat dua ini,” kata Ihsan sambil membuka lemari. Musa mengangguk. Ia kemudian mengeluarkan tiga pasang baju yang dibungkusnya dalam kantong plastic dan meletakkan di sana.
Namun usai menaruh baju, Musa terlihat masih bingung. Tangan kananya masih memegang kantong plastik.
“Kenapa?” tanya Ihsan kemudian.
“Apa bisa aku simpan magazen dan peluru ini dalam lemari?” kata Musa sambil memperlihatkan senjata FN, magazen pengganti, serta butiran peluru. Ihsan tersenyum.
“Simpan saja semuanya di sana. Tak usah kau bawa-bawa senjata selama di sini. Semuanya aman terkendali. Aku jamin,” kata Ihsan kemudian.
“Tapi kau tutup sedikit. Nanti kalau ibuku masuk dan membuka lemari, tak terlihat,” ujar Ihsan lagi. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga :
Discussion about this post