Nostalgia Krueng Mane
IHSAN merebahkan diri di atas kasur tanpa mengenakan baju. Matanya mulai sayu. Badannya amat lelah. Semalam, ia memang tak tidur karena nonton bola. Ia bergadang.
Pagi hari tadi, ia dan Hamdani, rekan sesama kontraktor, kembali harus menjumpai petinggi PT. KKA untuk keperluan proyek.
Ada beberapa tender di perusahaan itu yang dimenangkannya. Tentu mereka harus sering-sering berkoordinasi agar tetap diberikan kepercayaan ke depannya.
Pertemuan itu berlangsung hingga pukul 11.30 WIB. Hamdani kemudian memintanya untuk ngopi di salah satu warung di Pasar Impres, Krueng Mane. Mereka baru bubar pukul 13.00 WIB.
Ihsan merasa nyaman bersama Hamdani. Selain kontraktor, Hamdani adalah aparatur gampong di Cot Seurani. Mereka juga sebaya dan kawan sepermainan dari kecil.
Kini, setelah semua urusan tadi selesai, ia betul-betul ingin istirahat. Matanya mulai berkunang-kunang.
Namun saat matanya mulai terkatup, tiba-tiba handphone-nya kembali berdering. Ihsan mengambil handphone dan meletakkannya di dekat telinga. Ia tidak melihat nama penelpon yang muncul di layar.
“Hallo,” ujarnya pelan. Matanya masih tertutup.
“Apakabar, Papi. Masih menyimpan nomor handphoneku,” ujar seseorang di seberang telepon.
Ihsan kaget. Dalam beberapa bulan terakhir, terutama sejak dia pulang ke Aceh, tak ada yang memanggilnya dengan sebutan itu. Panggilan tersebut disemaikan orang-orang Aceh maupun mahasiswa asal Aceh di Yogyakarta, khusus kepada dirinya.
Ihsan hampir belasan tahun di Yogyakarta. Ia mengenal hampir seluruh warga Aceh di sana.
Gelar ‘Papi’ karena ia terlihat lebih dewasa dari mahasiswa Aceh lainnya di Yogyakarta.
Ihsan kemudian melihat nama yang muncul di layar. Ia kemudian tersenyum dan rasa kantuknya mendadak hilang.
“Masih, Musa. Apa kabarmu? Baik-baik sajakah, kamu?” ujarnya setelah sempat terdiam.
Musa merupakan salah seorang kenalannya selama di Yogyakarta. Sosok itu merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM. Ia memutus pulang awal tahun 2000 dan kemudian bergabung dengan GAM.
Selama di Yogya, Musa sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Musa lebih muda sekitar 4 tahun darinya.
Ihsan sendiri sudah beberapa kali menghubungi sosok itu pasca pulang. Namun mereka gagal bertemu karena status Musa kini.
“Baik, Papi. Aku mau minta tolong sama kamu. Apa bisa, kamu jemput saya di Komplek Paloh Lada sebentar? Aku ingin keluar dari komplek ini,” ujar seseorang di seberang sana lagi.
“Bisa. Tolong kirim alamatnya yang lengkap ke nomorku. Aku segera ke sana,” jawab Ihsan.
“Iya. Ini aku kirim,” kata Musa lagi sebelum memutuskan sambungan telepon.
Ihsan kemudian bergegas ke kamar mandi. Tujuannya untuk membasuh muka agar kantuk tak lagi menyerangnya. Ia memakai baju dan mengambil kunci mobil Kijang LX warna abu-abu.
Ihsan mengarahkan laju mobil Kijang LX miliknya ke rumah Hamdani. Ia ingin sosok itu mendampinginya saat menjemput Musa.
Ihsan beberapa kali membunyikan suara klakson di halaman rumah Hamdani. Sosok itu muncul beberapa menit kemudian.
“Ada apa?” tanya Hamdani saat mendekat.
“Temani aku sebentar untuk jemput Musa,” jawab Ihsan.
“Musa yang temanmu di Yogyakarta itu? Yang sekarang GAM itu,” ujar Hamdani lagi.
“Iya. Ayo naik ke mobil. Kita harus bergerak cepat,” kata Ihsan. Hamdani mengangguk. Ia kemudian segera duduk di sisi kanan Ihsan. Mobil Kijang LX itu kemudian melaju dengan kecepatan sedang. Baik Hamdani dan Ihsan sempat terdiam beberapa saat.
“Musa tadi menelponku. Ia minta tolong untuk dijemput. Mungkin ia sedang menghadapi masa-masa sulit. Sekarang-kan sedang darurat militer. Posisinya mungkin sedang terjepit,” kata Ihsan.
“Anak itu sangat pemberani. Aku salut samanya,” ujar Ihsan lagi. Sedangkan Hamdani mendengarnya dengan mata terkantuk-kantuk. Sama seperti Ihsan, ia juga tak tidur dari semalam.
Sikap acuh tak acuh dari Hamdani membuat Ihsan berang. “Hey. Jangan tidur kalau orang lagi ngomong,” kata Ihsan.
Hamdani membuka mata. Ia kemudian tersenyum ke arah Ihsan. Hamdani sangat mengenal karakter Ihsan. Sosok tinggi dan besar itu memang sangat setia kawan. Hal ini pula yang membuat Ihsan banyak kawan, baik saat di Yogya, maupun saat pulang ke Aceh.
“Sorry aku mengantuk. Dari semalam kan, kita tak tidur,” ujar Hamdani.
“Bagaimana kalau saat kita jemput nanti ada patroli TNI? Bagaimana kalau ada swepping? Bagaimana kalau saat tiba di lokasi ada kontak tembak? Apa kamu tak takut,” kata Hamdani sambil memberondong pertanyaan ke Ihsan.
Pertanyaan Hamdani sempat membuat Ihsan was-was. Raut wajahnya sempat memerah. Namun sosok itu dengan cepat menguasai diri.
“Ah, tak mungkin. Tadi waktu ditelpon baik-baik saja. Rugi aku mengajakmu, kalau hanya menakutiku dengan hal-hal seperti itu,” jawab Ihsan. Sedangkan Hamdani cuma tersenyum.
Saat mendekati komplek Paloh Lada, laju mobil mulai melamban. Suasana Komplek Paloh Lada terlihat sepi. Hanya satu dua warga yang melintas. Suasana ini membuat Ihsan kembali was-was. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga:
Discussion about this post