MEDIAACEH.CO, Jakarta – Mantan pucuk pimpinan organisasi eks-Gafatar untuk pertama kalinya mengadakan konferensi pers resmi dan menyatakan bahwa mereka sudah keluar dari paham dan keyakinan Islam, sehingga MUI tak berhak lagi mengeluarkan fatwa sesat pada mereka.
Di sisi lain, MUI mengatakan berhak mengkaji Gafatar karena masih terkait Islam.
Dalam jumpa pers resmi pertama sejak pemulangan paksa warga eks Gafatar di Kalimantan, pekan lalu, bekas pimpinan ormas itu, Mahful M. Tumanurung, menjelaskan soal keyakinan dari pimpinan dan anggota eks Gafatar.
“Dalam hal persoalan keyakinan dan paham keagamaan adalah hak asasi setiap warga negara Indonesia yang dilindungi dan dijamin oleh Konstitusi, untuk itu kami menyatakan sikap, telah keluar, telah keluar dari keyakinan dan paham keagamaan Islam mainstream Indonesia, dan tetap berpegang teguh pada paham milah Abraham.
Untuk itu, bukan pada tempatnya Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa sesat pada kami atau Gafatar sebagai organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang sosial budaya yang berasaskan Pancasila seperti tertulis dalam AD/ART kami,” kata Mahful di hadapan wartawan di YLBHI, Jakarta, Rabu (26/1).
Menurut Mahful, pada 2015, mereka sudah mengirim surat pada MUI untuk mengajak berdialog, tapi tak mendapat tanggapan.
Sementara itu Ketua Komisi Tim Pengkajian MUI, Utang Ranuwijaya, menyatakan pihaknya tak akan berdialog dengan Gafatar dalam proses penentuan fatwa karena posisinya sebagai “aliran sesat”.
“Aliran sesat tentu tidak…kita tidak membangun dialog. Cukup dilakukan pengkajian dan penelitian,” kata Utang.
Utang juga menegaskan bahwa MUI tetap berhak mengkaji Gafatar karena mereka menilai kelompok ini masih terkait Islam.
“Khalayak sekarang ini melihat bahwa Gafatar ada kaitannya dengan Al Qiyada al Islamiyah, itu membawa nama Islam. Kalau mereka menyatakan sudah keluar dari Islam, harus dilihat nanti, apa yang menjadi sumber ajarannya, nabinya, bagaimana praktik ibadahnya. Nanti kita lihat apa mereka memakai Al Quran, kalau mereka memakai Al Quran, jelas itu juga sumber ajaran Islam yang pertama,” kata Utang.
Polri sebelumnya mengatakan bahwa fatwa MUI bisa dipakai sebagai dasar untuk mempidanakan mantan petinggi Gafatar.
Menyikapi perbedaan sudut pandang antara Gafatar dan MUI ini, pengamat Achmad Nurcholish dari Pusat Studi Agama dan Perdamaian mengatakan bahwa kebebasan beragama sudah dijamin oleh undang-undang sehingga keyakinan tak bisa diadili oleh siapapun.
“Kalau memang Gafatar itu mengklaim bukan Islam, maka sudah clear. MUI tidak bisa lagi mengatakan bahwa mereka Islam. Di Indonesia setiap umat beragama itu kan beragam warnanya. Nah MUI seolah-olah ingin membuat satu warna, kalau mengaku Islam ya harus sesuai dengan kacamata mereka,” kata Achmad.
Achmad mengakui bahwa memang ada batasan bagi kebebasan beragama di Indonesia, seperti ketika satu kelompok atau orang mengajarkan kekerasan, mengajak orang lain melakukan bunuh diri, ajarannya membahayakan kesehatan publik, dan ajaran itu mengganggu keamanan di satu masyarakat, baru orang atau kelompok tersebut bisa ditindak.
Kini, dia meminta pemerintah untuk menjamin hak hidup warga pengikut eks Gafatar serta memberi jaminan keamanan bagi mereka. Achmad juga memuji upaya pimpinan Gafatar untuk melakukan konferensi pers karena dia melihatnya sebagai upaya berdialog terbuka dengan pemerintah. Dan pemerintah, menurutnya, juga harus melakukan hal yang sama.
“Pemerintah juga tidak hanya melulu mendengar apa yang dikatakan oleh MUI ya, pemerintah juga harus mendengarkan perspektif yang berbeda dari berbagai kalangan,” kata Achmad.
Pekan lalu, ribuan eks anggota ormas Gafatar diusir dari Kalimantan Barat, aksi ini disertai pembakaran rumah-rumah mereka. Mahful Tumanurung mendesak pemerintah mengusut pelaku pembakaran serta mengamankan aset warga eks Gafatar.[]
Sumber: BBC Indonesia
Discussion about this post