USAI bincang-bincang dengan Abu Rais, aku minta izin untuk istirahat di rangkang belakang rumah. Rangkang tersebut hanya muat ditempati sekitar 4 orang. Di sanalah aku tertidur.
Abu Rais baru membangunkanku saat waktu Dhuhur tiba. Kami salat berjamaah dan kemudian makan siang bersama di ruang tamu. Aku, Abu Rais, penghubung dan istrinya.
Sementara pasukan nanggroe makan di atas rangkang secara bergantian. Ada juga yang hanya duduk beralas tanah.
Abu Rais kemudian juga meminta penghubung membeli rujak manis di dekat jembatan Kuta Blang. Keberadaan rujak manis memang terkenal di daerah ini. Banyak pengguna jalan yang singgah di sana hanya untuk membeli rujak.
Namun status kami sebagai Tentara Nanggroe, tentu tak bisa sembarangan bergerak. Apalagi, TNI juga sering makan rujak manis Kuta Blang.
Permintaan ini disanggupi oleh penghubung kami. Selang satu jam, ia pulang dengan dua kantong besar berisi rujak manis. Semua pasukan mendapat bagian, plus untuk istri dan anak penghubung.
Pukul 15.00 WIB, seluruh rombongan kemudian minta izin untuk pamit. Sang penghubung kemudian memberi kami sejumlah sembako untuk kebutuhan beberapa hari di pedalaman Kuta Blang, seperti dua goni beras, ikan asin, telur serta tempe dan indomie.
Sembako ini sesuai dengan permintaan Abu Rais melalui telepon tadi pagi. Beberapa pasukan mengangkut sembako ini. Aku sendiri kebagian mengangkut ikan asin.
Kami menelusuri jalan kampung hingga akhirnya tiba di pedalaman Kuta Blang jelang magrib. Aku sendiri tak mengenal lokasi itu.
***
PEKAN ke tujuh aku bersama Abu Rais. Aku masih belum memperoleh kabar mengenai nasib ayahku yang diculik.
Di sisi lain, salah seorang penghubung Abu Rais melaporkan bahwa TNI kian gencar mencari keberadaan kami.
TNI juga membuat pos-pos baru di daerah-daerah yang pernah kami lalui. Mereka mengepung dengan formasi lingkaran U. Tujuannya, untuk mempersempit gerakan kami.
Logistik yang kami miliki kian tipis. Untuk bertahan, kami hanya makan sehari sekali.
Abu Rais kemudian memecahkan pasukannya menjadi beberapa kelompok kecil. Masing-masing kelompok diminta bergabung dengan pasukan lain di luar kepungan.
Setiap kelompok keluar dari kepungan dengan cara menerobos celah kepungan yang merupakan garis merah yang cukup berbahaya. Tak jarang, jarak mereka dengan TNI terpaut puluhan meter. Mereka bergerak saat malam tiba. Satu persatu kelompok kecil ini bisa keluar dari kepungan TNI tanpa kontak tembak.
Menurut Abu Rais, kondisi ini terjadi karena TNI tak mengenal medang tempur di Aceh. TNI juga tak dapat membedakan mana GAM dan mana masyarakat biasa.
Aku dan Abu Rais, dan Bang Amat Manok merupakan kelompok terakhir yang keluar dari kepungan ini. Kami hanya ditemani oleh 6 tentara nanggroe. Kami keluar pada malam ke 4 pengepungan.
Dari pedalaman Kuta Blang, kami menuju ke jalan raya dekat jembatan Kuta Blang. Di sana, Abu Rais meminta Bang Amat Manok untuk kembali ke daerahnya. Ini karena peran Bang Amat Manok dianggap skaral bagi Abu Rais. Kalau pun kami kembali dikepung nanti, Bang Amat Manok bisa selamat dan tetap meneruskan perjuangan.
Sehari usai Bang Amat Manok pergi, Abu Rais juga meminta penghubung untuk membeli beberapa baju ukuran badanku. Permintaan ini tentu membuatku keheranan.
“Kau harus kembali ke Pase. Sini sudah tidak aman. Ini perintah dan tidak boleh dibantah,” ujarnya malam itu. Aku cuma mengangguk.
Pagi harinya, penghubung sudah membawa beberapa helai pakaian untukku. Aku bersalin dan menghadapnya beberapa menit kemudian.
“Kau sudah seperti anak kota. Tak akan ada yang curiga,” ujar Abu Rais sambil tersenyum.
“Kalau tuhan memberi umur kita panjang. Kita akan ketemu lagi. Jaga dirimu baik-baik,” kata Abu Rais lagi. Aku cuma tersenyum pasrah.
Aku sebenarnya sudah merasa nyaman dengan Abu Rais. Banyak ilmu yang aku peroleh selama bersamanya. Ia sudah seperti guruku dan ayah bagiku.
Abu Rais meminta penghubung untuk mengantarkanku ke lokasi Bang Amat Manok. Kabarnya, Bang Amat Manok berada di pesisir Kuta Blang. Ke sanalah kami menuju dengan menggunakan sepeda motor. Aku berboncengan di belakang penghubung. Aku tak mengetahui namanya.
Kami tiba sekitar pukul 11.00 WIB. Bang Amat Manok menyambut kedatanganku dengan hangat. Saat itu, ia duduk di atas rangkang kecil dekat laut.
“Bagaimana kondisi Abu Rais, Musa?” tanyanya begitu aku tiba.
“Baik. Hingga tadi pagi, ia masih di salah satu rumah warga dekat Kota Kuta Blang,” ujarku.
Bang Amat Manok terdiam lama. Aku sendiri merebahkan badan di atas rangkang. Dan kemudian tertidur lelap.
Jelang Ashar, Bang Amat Manok membangunkanku. Kami solat bersama.
“Malam ini, kita tidur di sini. Besok pagi, Ayah Sen akan menjemputmu. Aku sendiri akan pergi,” ujar Bang Amat usai salat.
Perkataannya ini membuatku ragu. “Pergi kemana?” tanyaku. Namun Bang Amat Manok hanya terdiam. Matanya menatap langit seolah sedang menerawang.
“Ada informasi, akan ada pengepungan besar-besaran dalam waktu dekat ini. Ini melebihi pengepungan kembali,” kata Bang Amat mengalihkan pembicaraan. Ia kemudian menarik nafas panjang.
“Kalau kita tak bertemu lagi. Aku berharap kamu tetap setia dengan perjuangan ini. Jangan menyerah biarpun keadaan terdesak. Jangan menyerah walaupun harus kau tukar dengan nyawamu,” ujar Bang Amat lagi pelan.
Saat itu langit Kuta Blang mulai gelap. Suara ombak terdengar kian kuat menghantam karang. Angin berhembus dengan kencang. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga :
Discussion about this post