SAAT cahaya fajar menyapa, aku merasa jauh lebih baik. Memang, mataku masih terasa berat. Ini karena dari semalam, aku belum tidur. Namun aku sudah terbiasa dengan keadaan tersebut.
Perang telah mendidikku untuk siap kapan pun. Selama perang atau konflik Aceh, aku bahkan pernah tak tidur selama tiga hari atau berjalan kaki selama 12 jam tanpa istirahat.
Tentu hal ini tidak kuperoleh selama di UGM. Alam lah yang menempaku hingga seperti sekarang. Ditambah lagi, suasana Peusangan, di pagi hari membuat perasaanku lebih tenang dan nyaman.
Aku merasa rileks saat melihat hamparan padi menguning. Mendengar suara kicauan burung yang berterbangan.
Aku mencoba melupakan kesedihan semalam. Aku pasrah dan menyerahkan keselamatan ayahku pada Allah Swt. Jika ia berumur panjang, maka kami akan dipertemukan lagi. Aku cuma berharap ia masih hidup.
Pagi ini, kami diminta Abu Rais untuk siap-siap pindah ke lokasi lain. Ini agar TNI tidak mudah melacak keberadaan kami. Rencananya kami akan ke pedalaman Kuta Blang.
“Bagaimana sudah siap,” ujar Abu Rais tiba-tiba dari belakang.
“Iya, Abu. Sudah. Tinggal berangkat,” kataku sambil menyarungkan senjata FN di pinggang.
Saat seluruh pasukan berkumpul, kami kemudian bergerak ke timur. Kami menelusuri bukit kecil, sungai hingga hamparan sawah. Beberapa kali kami berpas-pasan dengan warga di perjalanan. Warga juga yang memberitahu kami jika ada patroli TNI.
Hari ini kami mencoba menghindari perang. Ini karena kondisi pasukan sedang tak prima, termasuk diriku. Hampir sebahagian besar pasukan berjaga-jaga semalam. Mereka tak tidur karena mengawalku.
Aku menyesali sikap egoisku semalam. Aku merasa begitu cengeng sehingga tak sadar berimbas tak baik bagi seluruh pasukan.
Kami tiba di pedalaman Kuta Blang sekitar pukul 09.30 WIB. Kami berhenti di depan rumah warga. Namun lokasi itu bukanlah sasaran utama kami.
“Hanya singgah. Kita ambil bekal serta istirahat sebentar. Yang bergadang semalam bisa tidur. Sedangkan yang lain tetap berjaga-jaga,” ujar Abu Rais saat kami tiba di depan sebuah rumah.
Rumah itu semi permanen dan letaknya agar jauh dari pemukiman penduduk. Pemilik rumah merupakan penghubung Tentara Nanggroe. Ia juga sudah menyediakan kami kopi dan teh hangat. Abu Rais-lah yang menghubungi penghubung tadi dan memberi kabar kalau kami akan singgah ke sana.
Aku memanfaatkan waktu istirahat untuk menelpon penghubung di Pase. Dalam struktur GAM, penghubung hanya berkoordinasi dengan panglima setempat. Antar sesama penghubung juga tak saling kenal. Ini bertujuan untuk menjaga kerahasiaan.
Dari sejumlah penghubung yang aku hubungi, aku mendapat informasi bahwa peperangan terus terjadi di Pase.
Mata-mata GAM di Korem, menyebutkan korban di pihak TNI juga banyak. Kebanyakan yang luka-luka dirawat di Rumah Sakit Kesrem Lhokseumawe. Sedangkan yang meninggal langsung diangkut dengan pesawat dari Bandara Lhokseumawe. Namun media tak memberitakannya.
Aku juga meminta kabar soal keberadaan ayahku dari mata-mata tadi, namun katanya, belum ada kejelasan.
“Kau harus ikhlas. Kamu pasti mengetahui bahwa kecil kemungkinan ayahmu masih hidup,” ujarnya sebelum memutuskan sambungan telepon.
Aku terdiam beberapa saat. Aku kembali teringat dengan sosok ayah. Namun lamunan itu tak berlangsung lama. Abu Rais datang dengan membawakan dua gelas kopi ginseng.
“Aku tahu, kopi ginseng ini favoritmu. Ini aku minta sama penghubung tadi pagi. Ia mencarikannya untukmu. Ini, minumlah,” ujar Abu Rais. Aku sangat tersentuh dengan perhatiannya.
“Oya, coba kamu telpon dengan penghubung di luar negeri. Tolong tanya bagaimana pandangan masyarakat internasional terhadap kondisi Aceh,” kata Abu Rais lagi. Aku mengangguk dan kemudian menelpon beberapa penghubung GAM di luar negeri.
Aku menelpon Munawar Liza di Amerika dan berbicara dengannya beberapa menit. Kemudian menelpon Marwan di Australia, Teungku Hadi di Jerman serta Om Nur Juli di Malaysia.
Menurut mereka, status darurat militer di Aceh sudah menjadi isu internasional. Sipil GAM di luar negeri juga kian gencar melakukan aksi pencabutan darurat militer serta referendum bagi Aceh.
Kepada mereka, aku juga memberi informasi kondisi Aceh terkini, termasuk meninggalnya sejumlah tokoh GAM dalam perang. Demikian juga dengan banyaknya penculikan selama darurat militer.
Usai berkomunikasi hampir satu jam lamanya dengan semua penghubung tadi, aku kembali melapor ke Abu Rais. Aku menceritakan semua yang disampaikan penghubung di luar negeri.
Abu Rais mendengar penjelasan dengan khidmat. Beberapa kali ia mengangguk. “Berarti perjuangan kita tak sia-sia. Aku berharap mereka yang di luar negeri bisa mendukung perjuangan ini,” ujar Abu Rais.
“Aku berharap para orang tua kita di Swedia mengetahui perjuangan ini. Kelak ketika perjuangan ini berhasil. Aku berharap mereka tak lupa dengan para pejuang yang telah tiada. Mereka yang telah mengorbankan nyawa demi marwah bangsa,” kata Abu Rais lagi. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga :
Discussion about this post