PUKUL 04.45 WIB dini hari, Abu Rais kembali ke tempatku. Ia memegang lembaran kertas. Kertas tadi terlihat sudah kusam dan mulai sobek.
“Sudah baikan? Aku dengar kamu belum tidur dari semalam? Wajahmu tampak pucat,” ujar Abu Rais kepadaku. Aku mencoba menguatkan diri dan kemudian tersenyum kepadanya.
“Belum Abu. Aku belum mengetahui keberadaan ayahku. Aku khawatir ia kenapa-kenapa. Sampai saat ini, aku belum mengetahui ia dimana serta apakah masih hidup atau sudah meninggal,” ujarku.
“Ini coba bacalah,” kata Abu Rais sambil menyerahkan lembaran kertas tadi. Ia kemudian duduk di sisi kananku. Kertas yang diserahkan ternyata berisi nama-nama Tentara Nanggroe di wilayah Batee Iliek yang berada di bawah komando-nya. Ada puluhan nama.
“Apakah ini semua nama anggotamu, Abu? Kok hanya puluhan yang tercatat?” tanyaku. Sosok itu tak menjawab. Ia hanya mengangguk.
“Sekarang kamu buka lembaran kedua. Lihatlah, apa isinya,” ujar sosok berwajah teduh itu lagi.
Aku membukanya. Di lembaran kedua, ternyata juga tercatat deretan nama, umur serta alamat. Ada beberapa yang berjenis kelamin perempuan dan anak-anak. Namun jumlahnya mencapai ratusan lebih.
Daftar nama yang diserahkan ini membuatku kian bingung dengan maksud dan tujuan Abu Rais memperlihatkan kertas tadi kepadaku.
“Lembaran pertama tadi adalah nama Tentara Nanggroe yang syahid selama bersamaku. Aku mencatat semua namanya, agar tak lupa bahwa perjuangan ini telah banyak mengorbankan nyawa Tentara Nanggroe. Selain itu, juga sebagai tanggungjawabku untuk memberi penjelasan kepada keluarga yang ditinggalkan,” kata Abu Rais.
“Sedangkan lembaran yang kedua adalah daftar nama keluarga Tentara Nanggroe yang meninggal akibat tertembak serta hilang. Sama seperti peristiwa yang menimpamu. Saat kau ikut berperang, keluargamu diculik serta sebahagian besarnya belum diketahui nasibnya hingga kini,” ujar Abu Rais.
Aku tersentak dengan penjelasan Abu Rais. Ia ternyata mencoba menegur dengan cara yang amat halus. Abu Rais mencoba menyadarkanku bahwa konflik Aceh ternyata telah banyak memakan korban serta tak hanya keluargaku.
Aku benar-benar malu pada sosok itu. Aku merasa betul-betul egois untuk seorang Tentara Nanggroe.
“Maaf, Abu. Maaf jika aku terlalu larut dalam kesedihan,” ujarku menunduk kepala.
“Tidak. Kau berhak sedih. Kau berhak menangis. Namun jangan lama-lama karena perjuangan kita masih panjang. Suka tidak suka, kita besok akan kembali berhadapan dengan TNI. Kalau kamu terbawa emosi seperti sekarang, bisa meninggal. Aku tidak mau dendammu mempengaruhi perjuangan kita,” ujar Abu Rais.
“Iya, Abu. Saya mengerti. Saya akan mencoba tegar semampu saya,” kataku. Abu Rais tersenyum.
“Syukurlah kalau begitu. Aku sangat membutuhkanmu di sini. Demikian juga dengan Bang Yan di Pase. Kita semua harus kuat untuk memberi semangat pada pasukan. Kau lihat tadi, sejak kabar ayahmu diculik dan kamu sedih, seluruh pasukan berduka,” ujarnya.
“Soal ayahmu, serahkan semua pada Allah Swt. Biar tuhan yang menentukan. Usaha untuk mencarinya tak salah, bahkan harus. Namun jangan biarkan duka itu bertahan lama,” ujar Abu Rais lagi. Aku mengangguk. Nasehat Abu Rais sangat membantuku untuk tegar.
“Iya, Abu. Saya merasa lebih baik setelah mendengar nasehatmu. Aku merasa beruntung mengenalmu,” kataku. Abu Rais tersenyum. Kami kemudian terdiam beberapa menit.
“Sepertinya, sudah mau Subuh. Kalau tidur, akan tertinggal waktu salat Subuh. Sekarang lebih baik kita berwudhu, dan membaca Alquran. Kemudian kita salat berjamaah. Ini obat duka yang sangat ampuh,” kata Abu Rais tiba-tiba.
Aku tersenyum. Kami kemudian berwudhu serta zikir bersama. Beberapa Tentara Nanggroe bergabung bersama kami tak lama kemudian.
Suara Abu Rais saat berzikir terdengar sangat merdu. Pepohonan seakan berhenti bergerak. Hanya hembusan angin yang terasa saat menerpa wajah. Kami larut dalam zikir.
Saat waktu Subuh tiba, salah seorang Tentara Nanggroe berdiri untuk azan dan iqamah. Kami kemudian melaksanakan salat Subuh berjamaah. Seperti tradisi sebelumnya, Abu Rais kembali memberi siraman rohani usai salat.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Semua milik Allah Swt dan akan kembali pada-Nya. Hari ini kita mengetahui bahwa ayah dari saudara kita, Musa, dijemput oleh tentara republik. Kita tak tahu, apakah teman seperjuangan kita itu, masih hidup atau sudah meninggal. Mungkin semua sudah mendengar hal ini. Maka, saat ini saya meminta seluruh pasukan untuk melafazkan doa bagi sosok tersebut, agar Allah Swt memberikan jalan terbaik baginya,” kata Abu Rais.
“Kalau ia masih hidup, kita berdoa agar Allah Swt membuka hati tentara republik untuk mengembalikannya ke keluarga. Sedangkan kalau ia sudah meninggal, semoga teman seperjuangan kita itu diberikan tempat yang layak di sisi-Nya,” ujar dia lagi.
Abu Rais kemudian terdiam. Mulutnya komat-kamit. Demikian juga dengan jamaah. Suasana menjadi hening seketika. Aku berdoa semoga Allah Swt memberi jalan terbaik bagi ayahku. Mungkin ini adalah takdir yang harus aku terima. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post