AKU merasa benar-benar kehilangan. Pertahananku roboh. Hatiku hancur berkeping-keping. Dunia seakan berputar dengan cepat.
Abu Rais memelukku dari arah samping. Abu Rais mencoba menenangkanku berulang kali.
Sosok ayah sangat berarti bagiku. Ia orang yang memperkenalkan ku dengan GAM.
Namun sosok yang paling menderita atas kejadian tersebut, tentu saja ibuku. Ia telah kehilangan seorang putranya atau adikku pada akhir 2001 atau sekitar dua tahun lalu.
Adikku ditangkap TNI di rumah karena terlibat GAM. Sehari kemudian jenazahnya ditemukan di kawasan Paloh. Dekat pagar PT. Arun.
Kini, ada kabar kalau ayahku kembali diculik. Ini tentu kabar yang sangat berat baginya. Ia pasti sangat terpukul dengan kejadian ini. Berdasarkan pengalaman, jarang ada masyarakat yang kembali dengan selamat usai dijemput militer republik. Apalagi, ayahku memang terlibat dalam GAM sejak tahun 80-an.
Aku mencoba menenangkan diri. Di seberang telepon, ibuku masih menangis. Ada juga suara wanita yang coba menenangkannya di seberang telpon.
“Ibu tenang dulu, ya. Saya akan cek keberadaan ayah. Mudah-mudahan, ayah hanya ditangkap oleh TNI serta masih hidup,” ujarku mencoba menenangkan ibu.
“Ibu tenang dan jangan menangis lagi. Saya akan kerahkan tenaga untuk mencari tahu kemana ayah di bawa. Aku tak ingin ibu sedih dan menangis terus menerus,” kataku lagi.
Namun di ujung sana, suara tangisan masih saja terdengar. Aku terdiam lama dan mencoba bersikap tegar.
“Iya, Musa. Carilah informasi tentang ayahmu. Aku juga berharap yang sama,” ujarnya kemudian.
Aku kemudian memutuskan sambungan telpon Nyak Ti dan menghubungi beberapa penghubung di Meunasah Keude Cunda, Kota Lhokseumawe. Mereka membenarkan adanya penangkapan ayahku.
Menurut mereka, ayahku ditangkap saat keluar dari masjid. Ada seorang Cuak atau mata-mata TNI yang membocorkan keberadaan ayahku disana. Sedangkan TNI yang menangkap ayahku diduga berasal dari kesatuan Parako BKO Panggoi Indah di Lhokseumawe.
Aku kemudian kembali menelpon salah seorang mata-mata GAM di Korem Lhokseumawe. Aku memintanya untuk mengecek keberadaan ayahku di markas Parako BKO Panggoi Indah. Sosok itu mengiyakan dan akan menelponku tiga jam kemudian.
Saat waktu yang ditentukan berlalu, sang mata-mata tadi menempati janjinya untuk kembali menelponku.
“Ayahmu tak ada di pos itu. Semua lokasi dan penjara juga tak ada. Aku sudah putar-putar tadi. Aku menduga ia di bawa ke lokasi lain. Aku akan terus mencarinya untukmu,” kata pria itu di balik telepon.
Tadinya aku berharap ayahku ditahan di salah satu penjara di kawasan Lhokseumawe atau Aceh Utara. Ini tentu akan memudahkannya untuk proses pembebasan. Namun dengan adanya kabar tadi, maka kecil peluang ayahku masih hidup usai ditangkap.
“Baiklah. Aku minta tolong padamu. Aku sangat berharap ayahku masih hidup,” ujarku. Aku kemudian memutuskan sambungan telepon dan mencoba tegar.
Abu Rais yang sejak dari tadi berada di sisiku kembali mencoba menguatkanku. “Aku berharap kamu untuk bersabar. Ini mungkin cobaan Allah untukmu,” ujarnya.
“Iya, Abu. Aku minta izin untuk menyendiri sebentar. Aku ingin menenangkan diri dulu,” kataku dengan nada pelan. Air mataku tiba-tiba turun membasahi wajah. Berkali-kali aku sapu dengan tangan, namun air mata tetap turun dengan deras.
Abu Rais memelukku. Demikian juga dengan beberapa anggota pasukan Batee Iliek lainnya. Mereka satu persatu merangkulku.
“Kamu tetap di rangkang ini. Biarku dan pasukan berjaga-jaga di sekitar lokasi. Aku berharap kau tak larut dalam kesedihan. Malam ini menangislah sejadi-jadinya. Namun besok hari, kau sudah harus seperti biasa,” kata Abu Rais.
Aku terdiam. Wajah ayahku terlintas dalam lamunan. Saat memikirkan sosok itu aku kembali sedih.
Beberapa nomor handphone milik pasukan nanggroe dari Pase menelponku. Mereka menanyakan informasi soal penangkapan ayahku serta statusnya kini. Apakah masih hidup atau sudah meninggal. Aku menjawabnya sesuai dengan informasi yang aku peroleh. Mereka kemudian memintaku untuk sabar dan menguatkan diri.
Malam itu, waktu terasa sangat lamban. Jarum jam seakan tak bergerak. Beberapa anggota pasukan Abu Rais, silih berganti mengecek keadaanku dari kejauhan. Mereka sepertinya ingin mengetahui, apakah aku baik-baik saja atau tidak.
Sekitar pukul 01.00 dini hari, aku kembali menghubungi sejumlah penghubung. Namun tak ada kabar positif yang aku terima. Mereka masih belum mengetahui kabar keberadaan ayahku.
Hal yang sama juga disampaikan sejumlah sipil GAM yang aku telepon. Keadaan ini membuatku kian pesimis kalau ayahku masih hidup. Aku mencoba ikhlas serta tabah. Namun hatiku seolah belum bisa menerimanya.
Aku merasa gagal menjadi seorang anak. Aku tidak bisa membahagiakan orangtuaku semasa hidup. Namun juga tak bisa bersama ibuku saat ia dilanda duka seperti sekarang.
Air mataku kembali tumpah. Suara tangisanku terdengar oleh beberapa pasukan Abu Rais. Namun mereka sepertinya tak berani mendekatiku. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga:
Discussion about this post