SAAT Magrib tiba, Abu Rais meminta seluruh pasukannya untuk salat berjamaah. Kecuali yang sedang bertugas mengawal lokasi. Abu Rais menjadi imam sekaligus pengisi ceramah singkat.
Dalam ceramahnya, ia berkali-kali mengingatkan pasukannya bahwa dasar perjuangan GAM adalah mengembalikan marwah Bangsa Aceh.
“Semua orang Aceh adalah GAM. Bentuk dan perjuangannya yang berbeda. Ada yang perang melalui politik, demonstran jalanan hingga seperti kita yang mengangkat senjata,” kata Abu Rais.
“Ada juga satu dua yang berkhianat karena berbagai alasan. Memihak ke republik. Ini tak perlu disesali. Dalam cerita suatu bangsa, setiap perjuangan pasti ada pengkhianatan. Di Aceh ada sosok seperti Pang Tibang, Habib Abdurrahman hingga Hasan Saleh. Aku berharap kalian tidak seperti itu,” ujar Abu Rais.
“Aku berharap kalian menetapkan hati untuk selalu setia dalam perjuangan ini. Jangan ada yang menyerah. Udep sare mate saban, sikrek gaphan saboh keurenda.”
Pengetahuan yang dimiliki Abu Rais membuatku semakin kagum dengan sosok ini. Padahal, aku baru bersamanya dalam sehari.
Usai ceramah dan jamaah salat Magrib bubar, Abu Rais masih menyempatkan diri untuk berzikir. Sedangkan aku lebih memilih menghirup udara malam di depan markas.
Di sana, aku mencoba menghubungi Bang Yan. Namun sosok ini tak menjawab panggilan masuk. Demikian juga dengan Apa Syam dan Ayah Halim.
Aku akhirnya menghubungi beberapa penghubung di Pase. Tujuannya untuk mengetahui kondisi di sana.
Dari mereka, aku mengetahui jika pergerakan TNI kian gencar di dekat markas GAM. Beberapa pasukan Sagoe serta kompi di D1 Pase kian terdesak. Namun mereka mencoba bertahan.
Demikian juga dengan kondisi pasukan di beberapa daerah dalam wilayah Pase lainnya. Pembakaran sekolah juga terjadi di beberapa daerah. TNI mengklaim itu dilakukan oleh GAM. Padahal, hal itu tidak benar.
“Apa yang kau pikirkan, Musa,” ujar seseorang dari arah belakang. Pria berwajah teduh itu menempuk pundakku. Ia membuyarkan lamunanku.
“Tak ada, Abu,” jawabku singkat.
“Baiklah, kalau begitu. Ayo kita makan dulu,” kata Abu Rais.
Ia menggiringku ke dapur. Di sana ada nasi putih, sayur kangkung serta ikan teri.
“Maaf, hanya ini yang ada untuk malam ini,” kata Abu Rais.
Aku tersenyum.
“Tak apa-apa, Abu. Kita masih bisa makan saja, sudah sangat bersyukur. Banyak Tentara Nanggroe lainnya, yang mungkin saat ini sedang kelaparan di hutan sana,” kataku. Abu Rais terdiam. Kami kemudian makan tanpa bersuara.
Usai makan, aku merokok. Aku sempat menawarkan Dji Sam Soe ke Abu Rais. Namun sosok itu menolaknya.
“Saya merokok, tapi bukan merek itu. Lebih nyaman dengan ini. Lebih ringan,” ujarnya sambil mengambil bungkus Marlboro dan menunjukan padaku. Aku tersenyum.
“Bagaimana kondisi di Pase? Aku mendengar TNI mencoba mengepung sejumlah daerah. Apa benar?” tanya sambil menghisap sebatang Marlboro.
“Betul, Abu. Ada juga pembakaran sejumlah sekolah. TNI menuduh kita yang melakukannya. Padahal ini tidak benar,” jawabku. Abu Rais mengangguk beberapa kali.
“Mungkin ini strategis dari Jakarta. Mereka ingin merusak citra GAM dan memisahkan kita dari masyarakat. Atau ada pihak-pihak lain yang sedang bermain di Aceh dengan mengatasnamakan kita. Hanya Allah yang tahu,” kata Abu Rais lain.
“Betul, Abu. Semoga Allah memberi kesabaran dan kemenangan bagi kita,” ujarku lagi.
Kami kemudian kembali terdiam. Abu Rais menatap langit-langit markas dan beberapa kali menarik nafas panjang.
“Sayang anak-anak Aceh yang tak bisa sekolah. Padahal mereka adalah generasi penerus kita di masa depan,” ujar Abu Rais. Aku mengangguk.
“Pendidikan adalah bagian dari perjuangan ini. Dengan pendidikanlah, anak-anak Aceh tahu akan sejarah bangsa ini. Mengapa kita memberontak? Dan atas dasar apa kita memberontak,” katanya.
Aku kembali terdiam dan berharap Abu Rais meneruskan kata-katanya. Namun ia malah mengalihkan pembicaraan. Ia tiba-tiba berdiri dan mematikan rokoknya di asbak.
“Kalau begitu. Kau istirahatlah di sini. Aku keluar untuk melihat kondisi pasukan. Kamu aman di sini,” ujarnya.
Ia kemudian membasuh tangan dan keluar markas. Beberapa pasukan mengikutinya dari belakang. Mereka kemudian menghilang dalam pelukan malam.
+++
Aku hampir seminggu bersama Abu Rais. Kami mulai berpindah-pindah tempat. Ketika malam tiba, kami lebih banyak menginap di rumah warga.
Beberapa anggota Abu Rais mulai akrab denganku. Selain Bang Amat Manok, ada Bugrok, serta Cek Nar. Ketiga sosok ini selalu menemani Abu Rais. Kadang-kadang mereka berpisah, tapi Abu Rais selalu berada di tengah-tengah agar leluasa dalam bergerak jika ada operasi TNI.
Kami berpindah pindah di tiga kecamatan, seperti Gandapura, Kuta Blang dan Peusangan Matang Geulumpang Dua.
Sosok Abu Rais sangat berbaur dengan masyarakat sehari-harinya. Hal ini pula yang membuatnya sangat disegani.
Sore hari, seorang penghubung di Pase menelponku. Ia melaporkan kabar duka. Hasbi, panglima muda D1 Pase meninggal dalam kontak tembak dengan TNI. Ia syahid.
Hasbi meninggal saat pengepungan fajar di tambak belakang komplek perumahan PT. PIM. Tambak tersebut merupakan batas antara Pemko Lhokseumawe dengan Pemkab Aceh Utara. Separuh tambaknya masuk dalam wilayah Ujung Pacu Kota Lhokseumawe. TNI yang BKO di Telkom PT. Arun lah yang melakukan operasi fajar.
Komplek perumahan Arun dan perumahan PT. PIM hanya dibatasi oleh tambak dan Sungai Krueng Geukuh. Isra yang juga ada dalam pengepungan tersebut berhasil menyelamatkan diri.
Hanya Hasbi yang tertembak oleh TNI. Sementara yang lainnya berhasil selamat. Senjata FN buatan Brazil milik Hasbi juga berhasil disita TNI.
Hasbi dimakamkan di Desa Lhok Gob, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Posisi Hasbi kemudian digantikan oleh Isra yang sebelumnya wakil panglima muda. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga :
Discussion about this post