“Kecuali tiket wildcard tahun 1996 saat Aceh menjadi tuan rumah Porwil Sumatera, baru kali ini Sepak Takraw Aceh merebut tiket murni lolos PON, sejak 28 tahun tarakhir. Sejarah baru tercatat”
PADAHAL pertandingan baru usai babak semifinal, tapi Yuliadi girang bukan kepalang. Dengan mimik bahagia bercampur haru, ia menjinjit kaki, berusaha menyalami satu-persatu sporter Aceh yang sejak pertandingan sepak takraw di Pekan olahraga wilayah (Porwil) Sumatera IX 2015 dimulai, setia memberikan dukungan kepada tim yang hanya berjumlah tujuh orang itu. Lima pemain, dan dua pelatih.
Kegirangan Yuliadi Sual, pelatih utama tim sepak takraw Aceh hari itu berkat keberhasilan para atletnya yang berhasil meraih kemenangan ketiga, usai mengalahkan Sumatera Utara dengan skor 2-0. Sebelumnya, Aceh yang semula tak diperhitungkan juga sukses mengalahkan Jambi dan Sumatera Selatan dengan skor masing-masing 2-1. Pertandingan berlangsung di GOR Depati Bahrein Kacang Pedang, Pangkal Pinang, November lalu.
Tiga kemenangan beruntun membuat Aceh berhak melaju ke babak final. Artinya medali perak, dan tiket Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX Jawa Barat 2016 sudah di tangan!
Itulah yang membuat Yuliadi, dan asistennya, Munzir, serta para atlet bahagia luar biasa. Betapa tidak, kecuali lewat tiket wildcard tahun 1996, sepanjang keikutsertaan pertama sejak Porwil Sumatera tahun 1987 di Riau, baru kali ini Persatuan Sepak Takraw Indoneia (PSTI) Aceh, lolos murni menuju PON.
Tahun 1996, Aceh menjadi tuan rumah Porwil Sumatera, yang otomatis mendapat tiket wildcard atau lolos langsung menuju ke PON.
Pada Porwil Sumatera IX 2015, Takraw Aceh hanya mengikuti satu, dari empat nomor yang dipertandingkan untuk putera dan puteri, yaitu nomor beregu putera. Tak diperhitungkan sebelumnya, usaha Akbar Firdaus dkk, ternyata mampu memanfaatkan satu nomor untuk satu tiket murni pertamakalinya selama 28 tahun terakhir.
Pengurus Besar (PB) PSTI memang mensyaratkan medali emas dan perak untuk lolos PON. Area perebutan tiket PON untuk seluruh Indonesia dibagi ke dalam tiga wilayah, I, II dan II. Meski Porwil Sumatera IX 2015 diikuti oleh 10 provinsi seluruh Sumatera, namun khusus untuk cabang sepak takraw, wilayah barat diisi delapan provinsi, minus Bengkulu dan Lampung yang masuk wilayah II.
Beruntungnya lagi, PB PSTI kemudian mengubah aturan dari kebiasaan, dimana bagi provinsi yang sudah lolos nomor tim (terdiri atas tiga regu), maka dianggap sudah lolos untuk semua nomor, dan tidak perbolehkan lagi mengikuti nomor beregu. Untuk wilayah I, PB PSTI hanya menyediakan dua tiket lolos PON di nomor tim, yang kemudian berhasil diraih oleh Riau dan Sumatera Barat.
“Dengan sisa enam provinsi kemudian dibagi ke dalam dua grup,” kata Yuliadi menjelaskan proses perjalannya timnya di Porwil Sumatara IX 2015. Grup A diisi oleh Aceh, Jambi, dan Sumatera Selatan, sedangkan grup B ada Kepulauan Riau, Sumatera Utara dan tuan rumah Bangka Belitung.
Tim Aceh harus menunggu tujuh hari lamanya untuk memulai pertandingan pertama mereka. Lamanya waktu tunggu sempat menjadi kekhawatiran Yuliadi. Betapa tidak, atlet yang tanpa aktivitas otomatis akan mempengaruhi mental tanding dan kelebihan berat badan.
“Mau latihan lapangan tidak bisa dipakai karena ada pertandingan. Kita tunggu sampai malam tidak mungkin. Di hotel pun minim fasilitas olahraga,” kisah Yuliadi. Untuk menjaga mental dan fisik tetap stabil, ia mengintruksikan para atlet untuk berlari-lari kecil di kawasan hotel saban harinya.
Jelang pertandingan perdana versus Jambi dimulai, apa yang dikhawatirkan sang pelatih terbukti. Di set pertama, Akbar Firdaus, Irwansyah dan Furqan harus menerima kekalahan dengan skor 19-21. “Karena sudah satu minggu tidak tanding, kita bermain kaku,” kata Yuliadi.
“Kalau kalah lawan Jambi, kita langsung pulang!” kata Yuliadi mengingatkan para atlet saat istirahat jelang set kedua. Hasil analisanya, Jambi bukanlah tim tangguh. Karena itu, jika lawan Jambi saja harus kalah, maka tidak ada harapan untuk menang melawan tim-tim lain di pertandingan penyisihan berikutnya. Ia berusaha meyakinkan para atletnya, bahwa secara skill mereka berada di atas Jambi
“Kalau kalah cok tah wo aju!” kata Yuliadi yang sudah 25 tahun bergelut di dunia olahraga sepak takraw. Ia menginstruksikan kembali pola permainan selama masa latihan. Dan hasilnya, di set kedua anak asuhnya itu bangkit melawan, menang dengan skor 21-14. Begitu juga di set kedua, menang 21-13.
Grafik permainan tim asuhan Yuliadi dan Munzir itu terus meningkat di babak penyisihan selanjutnya, hingga semifinal. Mereka bermain santai, gemulai, dengan service, blocking dan smash-smash mematikan. Langkah tim yang sama sekali tak diperhitungkan sebelumnya itu melaju hingga ke babak final.
Lawan selanjutnya adalah Kepri, tim tangguh bukan hanya untuk level Sumatera, tapi nusantara. Para pemainya diisi oleh atlet-atlet yang telah pernah merasai ajang Kejuaraan Takraw Asean School. Tapi Yuliadi dan Munzir tak pernah ragu dengan skill yang dimiliki atlet asuhan mereka itu. Satu-satunya kelebihan tim lawan hanya pada jam terbang dan mental tanding.
Pertandingan final berlansung seru. Para atlet, dan official kontingen Aceh yang tidak memiliki jam tanding hari itu dikoordinir menuju GOR Depati Bahrein untuk mendukung tim Aceh. Supporter Aceh yang meski kalah jumlah tak henti-henti bersorak-sorai.
Tim Kepri yang meski telah memiliki jam terbang tinggi kewalahan menghadapi semangat permainan atlet tanah rencong. Set pertama, Aceh sempat unggul 22-18. Namun alumni Kejuaraan Asean School itu akhirnya mengejar hingga kemenagan set pertama bagi mereka.
Di set kedua, pertandingan bertambah alot. Lagi-lagi tim Aceh sempat unggul dengan capaian skor 20. Namun mental tanding tim Kepri memang harus diacungi jempol, mereka mengejar hingga skor 20-20. Tak kurang dua kali terjadi deuce, hingga akhirnya babak final ini dimenangkan oleh Kepri dengan skor 22-24. Kemenangan 2-0 bagi Kepri.

“Kekurangan kita cuma jam terbang,” kata Yuliadi yang juga Kabid Pembinaan Prestasi di PSTI Aceh, saat dimintai komentar mengenai hasil evaluasi timnya tersebut. Karena itu, ke depan menurutnya, penting untuk dilakukan try out atau try in. Kematangan atlet melalui jam terbang lebih efektif dibanding kematangan hasil tempaan pelatih.
Medali perak yang diraih para atlet binaanya itu telah melebihi target minimal yang ditetapkan sebelumnya. Di hadapan pengurus KONI Aceh saat pertemuan dengan 10 cabang sebelum keberangkatan menuju Porwil Sumatera IX 2015, Yuliadi mengatakan mereka mamasang target, minimal medali perunggu.
Dengan modal medali perak dari ajang Porwil Sumatera IX 2015, sesuai aturan PB PSTI maka tim Takraw Aceh berhak lolos ke PON.
Selain itu, kabar gembira lainnya, PB PSTI mengutarakan keinginan merekrut dua atlet Aceh untuk diikutkan dalam Pemusatan latihan nasional (Pelatnas) menghadapi SEA Games 2017. Keinginan itu telah diutarakan oleh Sekjen PB PSTI, Lukman Husein sesaat usai pengalungan medali di GOR Depati Bahrein.
Dua atlet tersebut adalah Akbar Firdaus dan Irwansyah, dengan catatan kedua atlet ini diikutkan pada PON XIX 2016, dan secara prestasi menunjukkan peningkatan. “48 orang seluruh Indonesia, dipilih lagi hingga 24 orang. Dari Aceh dua orang calon, dengan catatan mereka bisa main di PON, dan meningkat prestasinya,” kata Yuliadi.
Bagi Yuliadi dan Munzir, meloloskan tim menuju PON XIX 2016, dan mendidik atlet hingga diikutkan dalam Pelatnas suatu kebanggaan seorang pelatih. Kebanggaan yang dipersembahkan untuk tanah lahir, Aceh.[]
Discussion about this post