Kabar Duka dari Pase
AKU menghabiskan malam pertama di Bireuen bersama Bang Amat Manok.
Kondisi Bireuen, biarpun tak separah Dewantara, saat itu mulai dipadati oleh ribuan personil TNI yang baru masuk ke Provinsi Aceh melalui pelabuhan Krueng Geukueh dan Bandara Malikussaleh, Kota Lhokseumawe.
Sejumlah daerah basis GAM di Bireuen mulai dikepung oleh TNI. Mereka mencari beberapa tokoh GAM, seperti Teungku Darwis Jeunieb, Teungku Batee, serta Abu Rais.
Mereka adalah pentolan GAM di Bireuen. Sosok paling diburu oleh para Raider TNI.
Kami yang awalnya ingin bergabung dengan Abu Rais jadi terkendala. Bang Amat akhirnya menunda untuk mengantarku ke pasukan Abu Rais. Ia memintaku bermalam di seputaran Kota Kuta Blang.
“Saat TNI mengepung desa dan kota untuk mencari kita, maka tempat yang paling aman adalah kota. Ini karena asumsi TNI bahwa orang GAM berada di desa dan gunung. Mereka tidak sadar, kita tidur di dekat mereka,” ujar Bang Amat Manok kepadaku.
Pemikiran Bang Amat ini memang sesuai dengan logika. TNI lebih sering mengepung hutan selama darurat militer diterapkan, padahal GAM sudah banyak turun ke kota.
Malam itu, kami bahkan sempat menikmati martabak dan Sate Matang di Kota Kuta Blang. Kami berada di Kuta Blang selama dua hari.
Di hari ketiga, menurut informasi dari Bang Amat, Abu Rais dan pasukannya berada di kawasan Jangka. Ia dan pasukannya sudah keluar dari kepungan TNI.
Abu Rais meminta Bang Amat untuk mengantarku ke sana.
Dengan bersepeda motor, kami tiba di ‘markas dadakan’ Abu Rais hanya dalam hitungan menit. Markas tersebut hanya sebuah rumah panggung kosong. Bagian belakangnya tersambung dengan bangunan semi permanen.
Rumah itu sudah ditinggalkan penghuninya. Letaknya bersebelah dengan hamparan sawah.
Menurut Bang Amat, Abu Rais dikawal oleh ratusan Tentara Nanggroe. Mereka memberi penjagaan berlapis. Namun pasukan Abu Rais bersembunyi di balik pohon sepanjang jalan masuk tadi.
Bang Amat memberi isyarat berupa klakson dua kali saat hendak mendekati markas. Dari semak-semak, kemudian keluar belasan pria berbadan kekar dengan menenteng AK-47. Wajar mereka terlihat garang.
“Oh, Bang Amat. Masuk saja. Sudah ditunggu Abu Rais,” ujar salah seorang di antara mereka. Bang Amat tersenyum.\
Sedangkan aku yang berada di belakangnya, hanya terdiam. Maklum, aku belum mengetahui medan yang kami tempuh. Daerah itu terasa masih asing.
Pasukan tadi kembali menuju semak-semak.
Di halaman depan markas, seorang pria bertubuh kurus dan agak kecil tersenyum ke arah kami. Ia mengenakan peci haji ala Malaysia.Pria berwajah teduh itu dikelilingi belasan pria bersenjata lengkap. Bahkan ada yang memegang senjata Minimi.
Aku menduga ia adalah Abu Rais. Senyumnya tampak mengembang.
“Maaf, tak bisa menjemput di Kuta Blang. Maklum, kondisi kami sedang terdesak,” ujarnya dengan tutur kata yang santun dan halus kepadaku.
Sosok itu seperti memiliki ilmu pemikat. Ia seakan memiliki aura penunduk yang sangat kuat.
“Tak apa-apa, Abu. Bang Amat menjagaku dengan sangat baik. Semalam, kami bahkan sempat makan martabat di Kuta Blang,” jawabku. Abu Rais tersenyum. Sedangkan Bang Amat tertawa.
Abu Rais kemudian meminta seorang pasukan untuk mengantarku ke dalam markas mereka. Di sana tak ada ranjang tidur.
Namun ada beberapa bantal tidur di pojok kiri. Ada juga sajadah serta Alquran di sudut kanan.
“Teungku bisa meletakan barang bawaan di pojok kiri. Dekat bantal. Sedangkan kamar mandi di belakang. Kita salat juga di sini,” ujar anggota pasukan tadi.
“Tak apa-apa. Saya hanya membawa sepasang baju. Soal tidur, saya bisa dimana saja,” kataku sambil menunjukan kantong plastik berisi pakaian ganti.
Anggota pasukan tadi tersenyum.
“Saya minta izin kembali ke pos penjagaan. Abu Rais sedang berada di sana. Ia meminta kepada kami untuk memberikan pengawalan ekstra selama Teungku di sini,” ujarnya lagi.
Usai Tentara Nanggroe itu berlalu, aku mandi dan bersalin. Sedangkan baju kotor, aku jemur di belakang markas. Baju itu akan aku pakai untuk besoknya.
Sekitar pukul 16.00 WIB, Abu Rais memimpin apel pasukan di halaman depan. Ia memperkenalkan aku kepada seluruh anggota pasukannya.
“Ini adalah saudara kita dari Pase. Kalian tentu sudah mendengar bagaimana mereka bertempur melawan TNI. Mereka rela mati untuk Aceh. Aku minta kalian untuk mencontoh keteguhan hati mereka. Jangan ada yang lari dari perang. Bekna bijeh-bijeh Pang Tibang di sinoe,” kata Abu Rais membakar semangat juang pasukannya.
“Jangan ada yang tinggalkan sembahyang. Karena kita bisa mati kapan saja. Aku bisa membelamu di hadapan musuh, tapi aku tak bisa membelamu di hadapan Allah Swt. Aku juga berharap kalian selalu Mengingat amanah Wali Hasan Tiro, serta peunutoeh dari Mualem. Dua ureungnyan pemimpin geutanyoe. Geutanyoe wajeb ta meusetia hingga sampe nyawoeng melayang dari tuboh untuk dua ureung nyan.”
“Ketika semua orang sudah berkhianat dan aku mati, maka kalian harus tetap mengikuti dua ureungnyan. Dalam keadaan dan kondisi apapun. Perjuangan ini akan berhasil apabila kita saling setia,” kata Abu Rais menutup arahannya.
Aku meresapi arahan Abu Rais. Kata-katanya menggugah semangat juangku. Abu Rais kemudian membubarkan pasukan.[Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga :
Discussion about this post