ROMBONGAN kami terus bergerak hingga ke Kompi Apa Syam. Kami tiba jelang Dhuhur. Seperti perkiraan sebelumnya, sejumlah mata-mata Tentara Nanggroe, melaporkan adanya pergerakan TNI dari Simpang KKA hingga Dewantara.
TNI bahkan menyisir beberapa lokasi di dekat penjemputan Billy. Salah satunya rumah tua di Lhok Weng, Nisam, yang aku dan Billy tempati semalam. Namun tak ditemukan apapun di sana. Hal ini tentu membuat TNI kian berang kepada kami.
Usai mengantarku, Maaphan dan pasukannya meminta izin kembali ke Sagoe Babah Krueng. Sore harinya, aku mendapat informasi bahwa mereka terlibat pertempuran sengit dengan TNI.
Kabar serupa juga datang dari beberapa sagoe di D1 Pase lainnya. TNI kian gencar menyerbu lokasi Tentara Nanggroe berada.
Apa Syam mengintruksikan pasukannya untuk berpindah-pindah tempat guna mengecoh TNI. Kami menerapkan taktik bergerak seperti lingkaran obat nyamuk.
Posisi GAM berada di dekat TNI. Saat TNI bergerak, GAM pun bergerak. Tujuannya untuk mengecoh TNI bahwa seolah-olah tidak ada GAM di antara kamp Apa Syam dan Maaphan atau Dewantara hingga Lhok Weng, Nisam. Seolah-olah kamp tersebut hanya digunakan GAM sebagai jalur keluar masuk. Taktik ini ternyata cukup berhasil.
Di hari ketiga bersama Apa Syam, aku menelpon Sofyan Dawood untuk melaporkan bahwa proses mengantar Billy telah sukses.
“Saya menunggu perintah selanjutnya,” kataku kepada Bang Yan melalui telepon seluler.
“Baik, kalau begitu. Sekarang kamu turun ke posisi Ayah Sen di perairan Krueng Geukuh. Ia akan mengantarkanmu ke tempat lain. Lokasinya akan diberitahukan oleh Ayah Sen saat bertemu nanti,” ujar Sofyan Dawood.
Perintah ini aku laporkan ke Apa Syam, dan ternyata sosok itu juga sudah mendapat telepon yang sama dari Bang Yan, sapaan akrab Sofyan Dawood.
“Berangkatlah. Saya sudah menyiapkan mobil L300 pick up untuk mengantarmu ke lokasi Ayah Sen. Aku berharap tuhan bersamamu,” kata Apa Syam.
Mobil L300 yang aku tumpangi berangkat siang hari. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Dari kamp Apa Syam, kami melewati Simpang Empat Krueng Geukuh, Dewantara. Kemudian mobil mengambil arah ke barat menuju Simpang KKA, belok kanan hingga ke pinggir pantai.
Di pinggir pantai, aku melihat Nyak Ih. Pria kurus itu berpenampilan layaknya warga biasa. Padahal, Nyak Ih adalah keuangan Sagoe Bujang Salim D1 Pase. Saat itu, Nyak Ih memegang kantong plastik yang belakangan aku ketahui berisi 2 bungkus nasi.
“Ayo, makan dulu, Pakwa,” ujar Nyak Ih. Ia kemudian menggiringku ke sebuah rumah warga di dekat pantai. Kami makan bersama di sana.
“Usai makan, baru aku mengantarmu ke tempat Ayah Sen. Aku diminta sama Apa Syam dan Isra, untuk mendampingimu,” ujarnya. Aku mengangguk.
Isra merupakan wakil panglima muda D1 Pase.
Seusai makan, Nyak Ih menempati janjinya untuk mempertemukan aku dengan Ayah Sen. Sosok itu menunggu di samping boat yang siap berangkat. Ayah Sen sendiri pernah mengantarku ke Blang Me, dalam misi ke Jambo Aye, beberapa bulan lalu. [Baca: Sang Kombatan (7)]
Ayah Sen tersenyum melihatku. Ia memintaku untuk segera mengganti baju. Seperti saat mengantar ke Panton Labu, ia ternyata telah menyiapkan baju nelayan untukku. Aku bersalin dan kapal berangkat.
“Hari ini kita mengarah ke barat, ke tempat Bang Amat Manok. Ini sesuai dengan arahan Bang Yan,” ujar Ayah Sen kepadaku di atas kapal.
“Kalau itu perintah Bang Yan, saya siap,” jawabku. Aku sendiri mengenal Bang Amat Manok. Ia petinggi GAM wilayah Batee Iliek.
Kami berangkat dengan menggunakan perahu nelayan berbadan sedang. Ada tumpukan pukat di dalam. Bau amis ikan menusuk hidung. Kami melaju dengan sangat lamban.
“Biar tak ada yang curigai. Kalau cepat, nanti akan ketahuan,” ujar Ayah Sen. Aku hanya mengangguk. Aku yakin, Ayah Sen, telah memikirkan matang-matang keputusan yang diambilnya.
Sepanjang perjalanan, aku melihat tiga speed boat milik TNI melintas. Namun mereka tak curiga sedikitpun dengan kami. Ayah Sen bahkan berulang kali melambai ke arah mereka sambil mengangkat tinggi beberapa ekor ikan tuna berukuran sedang. Seolah-olah kami baru pulang melaut. Entah dari mana ikan tuna itu didapatnya.
Pria itu tersenyum lebar saat patroli speed boat TNI berlalu. Aku kagum dengan kecerdasan Ayah Sen.
“Kalau perjuangan ini berhasil. Maka peranmu harus dibukukan dan masuk dalam buku sejarah, Ayah,” ujarku. Ayah Sen tertawa mendengar pengakuan ini.
“Apakah kita masih hidup ketika perjuangan ini selesai? Berapa tahun lagi itu?” tanya Ayah Sen.
“Aku tak bisa menjawab ini. Bisa tahun depan, 10 tahun lagi atau mungkin 100 tahun lagi,” jawabku. Kami kemudian tertawa bersama.
Perjalanan memakan waktu hampir 2 jam. Boat yang kami tumpangi memang berjalan sangat lamban.
Ayah Sen mengantarku hingga ke perairan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen. Lokasi ini terletak sebelah utara Matang Geulumpang Dua.
Saat kapal merapat, seorang pria bertubuh besar dan tinggi melambai ke arahku. Ia duduk di atas balai kecil dekat pantai. “Itu Bang Amat,” kata Ayah Sen.
Aku kemudian turun dari kapal. Bang Amat mendekat dengan wajah ragu-ragu.
“Kau Musa? Dari Pase?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Saya Amat. Karena kau lebih muda, panggil aku dengan Bang Amat. Bang Amat Manok,” ujar pria memperkenalkan diri. Bang Amat Manok adalah logistik GAM wilayah Batee Iliek.
“Aku diminta Abu Rais untuk menunggumu di sini. Kami sudah diberitahukan oleh Bang Yan,” katanya lagi.
Abu Rais yang dimaksud adalah Gubernur GAM Batee Iliek. Nama aslinya Teungku Yahya Keurumbok. Di kalangan kombatan, ia disapa Abu Rais. Abu Rais termasuk orang yang sangat disegani di wilayah Batee Iliek. Ia termasuk salah seorang yang paling diburu oleh TNI di Bireuen.[Bersambung]
Cerita bersambung ini merupakan karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post