PUKUL 05.45 WIB, Billy dan dua anggota pasukan Pang Sagoe Maaphan mulai menelusuri bukit Lhok Weng, Nisam. Mereka menyeberang hamparan sawah dan kemudian berhenti di tengah perjalanan.
Rombongan itu terlihat berpas-pasan dengan ibu-ibu yang hendak ke sawah. Billy terlihat berdialog dengan ibu-ibu tadi.
Billy dan dua anggota Maaphan kemudian bergabung dengan ibu-ibu tadi serta berjalan menuju ke arah Simpang jalan KKA.
Keberadaan markas Maaphan di Lhok Weng, dengan Simpang jalan KKA memang hanya dibatasi hamparan sawah. Sosok Billy masih terpantau dari posisi kami.
Saat Billy hilang dari pandangan mata, aku mencoba menelpon mata-mata Tentara Nanggroe di Simpang KKA.
Sebelum berangkat dari Kompi Apa Syam semalam, aku memang meminta sosok itu untuk mengirim seorang mata-mata ke Simpang jalan KKA.
Mata-mata Tentara Nanggroe yang dikirim ternyata bernama Ashar. Apa Syam menghubungkan kami berdua melalui handphone.
“Hallo, Pakwa. Saya sudah di lokasi. Belum ada pergerakan TNI hingga saat ini,” ujar Ashar melalui sambungan telepon.
“Baiklah kalau begitu. Kamu pantau terus. Kalau rombongan penjemput mulai masuk, tolong diberitahu,” ujarku.
“Baik. Merdeka,” kata Ashar lagi sebelum menutup telepon.
Dari suaranya, aku menduga kalau Ashar masih berusia remaja. Usianya kemungkinan 12 hingga 15 tahun. Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan sosok itu. Semalam, Apa Syam memberi jaminan bahwa Ashar tak akan dicurigai TNI sebagai mata-mata Tentara Nanggroe.
Aku kemudian menghubungi Billy.
“Aku sudah di dekat Jalan Elak, Pakwa. Aku belum ke jalan KKA,” jawab Billy di seberang. Suasana di sekelilingnya terdengar ramai. Ada suara ibu-ibu yang sedang mengobrol.
“Baik. Tunggu di sana saja. Tunggu hingga aku memberi aba-aba,” kataku sambil memutuskan sambungan telepon.
Aku menarik nafas panjang. Khawatir akan keselamatan Billy.
Maaphan muncul 10 menit kemudian dengan membawakan dua gelas kopi hitam.
“Minum kopi dulu, Pakwa. Jangan khawatir. Pasukan yang aku kirim bersama Billy merupakan pasukan terlatih dan didikan Bang Leman. Mereka bisa diandalkan,” ujarnya.
Aku tersenyum dan kemudian meneguk kopi pelan. Kopinya masih panas.
Sekitar pukul 08.45 WIB, nama Ashar tiba-tiba terlihat di layar handphone milikku. Aku segera menerima panggilan telepon tersebut.
“Bagaimana? Apa ada pergerakan TNI,” ujarku.
“Iya, Pakwa. Ada 4 mobil di Simpang KKA. Dua diantaranya Panser. Namun mereka hanya berhenti. Ada beberapa TNI turun dengan senjata lengkap,” jawab Ashar buru-buru.
Panser merupakan kendaraan tempur yang sering digunakan TNI selama konflik Aceh.
“Baik. Kamu pantau terus dan jangan putuskan sambungan telepon hingga mereka bergerak,” ujarku.
“Baik, Pakwa,” katanya.
“Ini mereka sudah mulai bergerak dari Simpang KKA. Mereka melaju dengan lamban.”
Aku memutuskan telepon Ashar dan menghubungi Billy.
“Bagaimana, apa mereka sudah bergerak, Musa?” tanyanya.
“Iya. Mereka sudah bergerak dari Simpang KKA. Namun kamu jangan keluar dari lokasi persembunyian hingga rombongan itu mendekat,” kataku.
“Baik,” ujarnya singkat.
Kami sempat terdiam beberapa menit hingga akhirnya kembali terdengar suara di seberang telepon.
“Itu, itu, mereka.”
Suara itu bukan milik Billy. Aku menduga bahwa suara tadi berasal dari salah seorang anggota Maaphan yang bertugas mengawal Billy.
“Jangan keluar sebelum mereka benar-benar mendekat,” ujarku lagi.
“Baik, baik,” ujar Billy di seberang telepon.
Kami kemudian kembali terdiam. Beberapa menit kemudian, suara Billy kembali terdengar.
“Ini sudah cukup dekat, apa aku keluar?”
“Iya, bisa,” jawabku. Aku kemudian mendengar langkah Billy. Ia seperti berlari dengan terburu-buru. Jaringan handphone kami masih tersambung.
“Hello, hello,” suara itu terdengar. Dari balik telepon, aku juga mendengar suara kendaraan panser berhenti. Ada juga suara hentakan langkah yang bergerak cepat. Mungkin milik anggota TNI.
“You are my friend, don`t worry [Kamu teman saya, jangan khawatir],” ujar seorang di seberang telepon. Suara itu terdengar jelas. Suasana kemudian hening beberapa saat.
“I’m okay,” suara Billy tiba-tiba terdengar. Suasana kemudian kembali hening. Ada beberapa orang yang berbicara. Namun tak terdengar jelas.
Aku kemudian kembali mendengar suara orang melangkah dan suara kendaraan Panser.
“Mungkin Billy dan rombongan Bambang Darmono bergerak meninggalkan lokasi.”
“Hello, Musa. Aku sudah bersama Bambang Darmono dan tim kedutaan. Aku baik-baik saja, tak perlu khawatir,” suara di sana tiba-tiba kembali terdengar.
“Baik kalau begitu,” ujarku.
“Well, kamu jaga diri baik-baik. Terimakasih atas segala bantuanmu selama ini,” ujarnya lagi.
“Semoga kita bisa bertemu lagi nanti.”
“Baik,” kataku. Tiba-tiba sambungan telepon terputus. Maaphan memandangiku dengan tersenyum.
“Dia sudah aman. Namun sekarang kita yang harus pindah tempat. Aku yakin, mereka tahu kalau kita memantau penjemputan Billy. TNI pasti akan menyisir lokasi ini sebentar lagi,” ujarnya.
Aku mengangguk. Maaphan kemudian meminta pasukan mengambil perlengkapan dan bersiap pergi.
Mereka bergerak dengan cepat. Kami kemudian berangkat menelusuri bukit Lhok Weng dengan tujuan Kompi Apa Syam di Dewantara. Sepanjang perjalanan, aku memilih diam.
Di atas bukit Lhok Weng, aku menerima pesan singkat dari Ashar. “Mereka mengarah ke Lhokseumawe.” [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga :
Discussion about this post