BAGI sebagian daerah di Aceh, tradisi ‘peupok leumo’ atau adu sapi terus dilestarikan hingga kini. Seperti yang dilakukan para peternak di bantaran Krueng Lamnyong, Darussalam ini. Sapi-sapi yang diadu di sini merupakan sapi dari Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.
Sepanjang pekan, para peternak di kawasan ini menunggu datangnya hari Minggu, sebab inilah hari di mana sapi mereka akan memiliki jadwal bertarung.
Selain diperuntukkan sebagai hiburan rakyat, tradisi mengadu sapi juga merupakan ajang memamerkan bobot sapi peliharaan.
Bahkan arena adu ini tak jarang menjadi pasar hewan dadakan. Para pembeli kerap mengincar arena adu sapi untuk mencari sapi yang layak dibeli.
Untuk dapat mengikuti pertarungan ini, sapi-sapi yang dimiliki para peternak harus memenuhi syarat yang ditentukan.
Di antaranya, bobot sapi yang akan berlaga haruslah sama, panjang tanduk sapi juga harus sama. Hal ini bertujuan menjaga keberimbangan pertarungan.
Aturan lainnya, setiap sapi yang diadu harus memiliki tali ikat yang kokoh. Alasannya agar peternak dapat dengan mudah mengendalikan sapi mereka yang tengah dibakar emosi di arena tanding. Hal ini juga berfungsi untuk menjaga keselamatan penonton, karena sapi bertarung di lapangan terbuka yang dikelilingi penonton.
Sapi-sapi yang diadu tidaklah sembarangan. Sapi-sapi ini mendapat perawatan khusus dari pemiliknya. Sapi ini bahkan mendapat asupan makanan khusus yang konon katanya adalah vitamin tradisional. Makanan khusus untuk sapi yang akan bertanding di antaranya air ijuk yang telah dibekukan, telur ayam kampung dan beberapa jenis makanan lainnya.
Muhammad Jamil, seorang peternak, kegiatan adu sapi akan berpengaruh pada proses pembentukan otot-otot sapi.
Menurutnya, sapi-sapi yang sering mengikuti pertandingan akan memiliki daging yang padat sehingga akan berdampak pada bobot saat dijual nanti.
“Ini murni hiburan, tidak ada judi ataupun taruhan di dalamnya,” ujar Muhammad Jamil.
Discussion about this post