SORE hari, Billy kembali menghubungi Dubes Amerika untuk Indonesia. Mimik wajahnya terlihat serius. Ia beberapa kali mengeleng kepala dan kemudian diakhiri dengan anggukan.
Menurut Billy, Dubes Amerika akan kembali berbicara dengan pemerintah Indonesia. Kali ini, menurutnya, mereka akan memberikan tekanan lebih kuat ke Indonesia agar persyaratan yang diajukan dipenuhi.
“Well, mudah-mudahan lancar,” ujar Billy kepadaku. Aku hanya mengaminkan.
Saat itu, aku melihat Billy benar-benar cemas akan keselamatannya. Ia khawatir tak bisa keluar dari markas kami. Wajahnya kian pucat. Tubuh pria itu kian kurus.
Pagi hari ke enam, sekitar pukul 10.00 WIB, Billy mendapat telpon dari Bambang Darmono. Awalnya ia menjawab dengan nada datar. Namun usai beberapa menit, wajah Billy terlihat cerah. Senyuman lebar terpancar dari wajah pria jangkung itu.
“Oke, kata Bambang, mulai hari ini tidak ada TNI di area Simpang KKA. Mereka memenuhi persyaratan yang diajukan. Mereka menjamin tak ada kontak tembak disana hingga penjemputan,” kata Billy dalam bahasa Inggris.
“Kata Bambang, keberadaanku sudah lama diketahui. Mereka mengetahui sejak ditemukannya dokumenku di Alue Seukei,” ujarnya lagi sambil tersenyum.
Informasi dari Billy ini sangat berguna bagi kami. Penarikan TNI dari area Simpang KKA dari 0 hingga 20 kilometer bisa membuat Tentara Nanggroe bisa istirahat serta merancang ulang strategi.
Aku melaporkan perkembangan negosiasi ini kepada Bang Yan melalui telpon. Namun pria itu meminta kami untuk tidak langsung membawa Billy ‘turun gunung’.
Kami diminta memantau suasana terlebih dahulu. Kami juga harus melihat komitmen TNI hingga beberapa hari. Ini guna memastikan bahwa TNI benar-benar memenuhi komitmennya. Permintaan Bang Yan ini ternyata dapat diterima oleh Billy. Ia mengerti bahwa hal itu kami lakukan demi keselamatannya.
Billy juga kembali menelpon Dubes Amerika guna meminta Sang Dubes tersebut ikut hadir dalam menjemputnya di hari yang ditentukan nantinya. Kata Billy, sang Dubes sudah mengiyakan.
Di hari ke sembilan, aku kembali menelpon Bang Yan. Aku meminta izinnya untuk mengantar Billy. “Baik. Pastikan semua berjalan dengan lancar. Jaga diri kalian baik-baik,” ujar Bang Yan melalui telepon.
Izin ini kemudian aku laporkan pada Apa Syam dan ia juga setuju. Aku juga meminta Billy untuk menelpon Bambang Darmono untuk memberi tahu bahwa besok adalah hari penjemputan.
Billy juga harus memastikan bahwa Bambang Darmono dan anggotanya menjemputnya dengan ditemani perwakilan Kedubes Amerika dan dua militer aktif Amerika.
Sebelumnya, Billy sudah menelpon Dubes Amerika. Namun sosok itu ternyata tak bisa hadir menjemputnya. Dubes meyakini Billy bahwa ia akan tetap memantau proses penjemputan tersebut.
Sedangkan yang ikut bersama Bambang Darmono adalah Atase Pertahanan (Athan) Kedutaan Besar AS Kolonel Joseph Judge serta dua tentara aktif Amerika seperti keinginan Billy.
Saat malam hari tiba, pukul 20.00 WIB, aku dan Billy minta izin pamit dari Apa Syam. Pria itu juga mengutuskan dua orang pasukannya untuk mendampingi kami. Si Tipe dan seorang anggotanya.
Pria itu sebenarnya bernama Syarifuddin. Namun kalangan kombatan memanggilnya dengan sebutan Tipe. Entah apa alasannya.
Kami berjalan kaki dari markas Apa Syam di Dewantara. Suasana malam itu mendung. Tak ada bintang yang bercahaya di langit.
Kami bahkan tak bisa melihat tangan sendiri. Suasana gelap gulita menyelimuti kami sepanjang perjalanan. Kami menelusuri hutan dan sawah di Dewantara. Sesekali menelusuri perkampungan untuk memotong jarak.
Suara jangkrik terdengar dari kiri kanan sepanjang perjalanan. Ada juga suara kodok yang saling bersahutan.
Tipe memimpin rombongan dengan berjalan di depan. Aku menyusul di belakangnya, kemudian Billy dan seorang anggota pasukan lainnya di belakang.
Sepanjang perjalanan kami lebih banyak terdiam. Kami siaga jika seandainya ada patroli mendadak TNI.
Saat tiba di padang luas dekat Lhok Weng, Nisam, suasana mendadak sepi. Suara jangkrik dan kodok tak terdengar di sana.
Gelapnya malam kian pekat. Tipe yang berada di barisan depan, mulai ragu. Tipe berhenti mendadak yang kemudian bertabrakan dengan tubuhku, Billy, dan anggota pasukannya.
Tipe seolah menerima isyarat alam bahwa ada sesuatu yang tak beres di daerah itu. Ia meraba-raba tanganku untuk memberi isyarat guna berhati-hati. Tipe mengenggam erat AK-47 miliknya.
Sedangkan tangan kananku siaga memegang senjata FN. Billy mundur ke belakang. Sedangkan aku, Tipe dan anggotanya melangkah pelan di depan dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Kami melangkah pelan.
Dari jarak beberapa meter, tiba-tiba terdengar suara kaki. Seperti suara orang melangkah bersepatu. Suara itu terdengar dari sekeliling kami.
“Tap, tup, tap, tup,” suara langkah itu terdengar kian jelas. Namun wajah mereka tak terlihat. Kami merasa sedang dikepung. Keadaan berubah panic. Kami bersiap tembak.
Gelapnya malam membuat pandangan mata terbatas.
Aku menjatuhkan tubuh ke tanah. Batu kerikil mengganjal perut. Perih.
Namun rasa sakit itu aku abaikan. Aku cuma berharap bisa menghindari peluru yang mungkin saja beberapa saat lagi akan berhamburan. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post