PRIA berpakaian necis tadi belakangan memperkenalkan diri dengan nama Aboy. Ia kontraktor yang juga salah seorang penghubung Tentara Nanggroe. Statusnya ini membuat Musa nyaman.
Para kontraktor biasanya memiliki relasi yang banyak, termasuk aparat keamanan seperti Polri dan TNI.
“Tentu Aboy bisa mengunakan seribu alasan untuk menyelamatkanku jika ada sweping atau patroli TNI,” gumam Musa dalam hati.
Dari jalan simpang Meunasah Paloh, rombongan ini menelusuri jalan raya dengan kecepatan sedang. Musa bahkan bisa melihat lidah api yang muncul dari kilang minyak PT Arun.
Keberadaannya ibarat raksasa yang sedang menyembur api ke perumahan miskin milik warga Paloh.
Ya, membakar harapan masyarakat untuk menikmati hasil alamnya sendiri.
“Lihatlah Musa. Hasil bumi kita diambil. Dikeruk hingga tak tersisa dan rakyat kita dijadikan budak di negerinya sendiri,” kata Teungku Abdullah kepada dirinya saat masih kanak-kanak.
“Semakin bodoh kita, maka semakin gampang pemerintah di Jakarta mengeruk kekayaan Aceh. Sekolah lah yang tinggi agar bisa membangun Aceh,” begitu pesan ayahnya, Teungku Abdullah, beberapa bulan sebelum ia menempuh pendidikan di UGM, Yogyakarta, beberapa tahun lalu.
Perkataan itu masih melekat di ingatan hingga kini. Apa yang dikatakan oleh ayahnya, memang benar adanya. PT Arun merupakan salah satu bentuk diskriminasi pemerintah pusat terhadap Aceh.
Antara PT Arun dengan kemukiman Paloh hanya dibatasi pagar kawat. Di dekat pagar itulah, hampir saban hari ditemukan mayat tanpa identitas. Keadaan itu menjadi pemandangan setiap harinya sejak Musa masih pelajar SMP hingga saat ini.
Pagar kawat milik PT Arun menjadi area yang cukup angker jika malam hari. Konon lagi berhembus isu jika ada hantu pocong muncul sambil berteriak minta tolong ketika malam tiba.
Ada juga warga yang kesurupan. Setiap kali kesurupan itu terjadi, warga sering meminta diantar ke dekat pagar Arun. Kabarnya, di situlah mereka dibunuh. Cerita ini beredar dari mulut ke mulut. Entah benar atau tidak.
“Kita hampir tiba,” kata Aboy yang membuyarkan lamunan Musa. Sepanjang perjalanan keduanya memang tak banyak ngobrol. Musa sendiri sibuk dengan lamunan.
Jarak Paloh dengan Ujong Pacu hanya sekitar 6 kilometer atau bisa ditempuh dalam hitungan menit jika menggunakan roda empat.
Ujong Pacu merupakan desa terakhir sebelah barat yang berbatasan dengan Nisam dan Dewantara. Ujong Pacu juga berbatasan langsung dengan Paya Cot Trieng.
Posisi Ujong Pacu berada di belakang komplek PT Arun. Untuk menuju desa ini, harus menelusuri jalan pinggir sungai Krueng Geukueh atau jalan pinggir komplek perumahan PT. Arun.
Musa mengamati sekeliling. Ia meminta Aboy menepi di dekat sungai. Dari kejauhan, ia melihat Dani melambai ke arahnya. Dani merupakan anak dari Bang Leman, mantan panglima operasi D1 Pase. Bang Leman sendiri meninggal dalam kontak tembak dengan aparat keamanan di Cot Trieng pada 2002 lalu.
Dalam struktur Tentara Nanggroe, Dani dipercayakan memimpin satu pasukan khusus GAM dengan wilayah tugas Kota Lhokseumawe. Pasukan Dani susah dikenali TNI karena berbaur layaknya warga kota.
“Aku turun di sini saja. Kamu pulanglah dan berhati-hati di jalan,” ujar Musa kepada Aboy. Aboy hanya mengangguk kecil.
Musa meraih rasel dan rantang makanan pemberian ibunya. Ia kemudian bergegas menuju ke arah Dani. Sosok itu memang sudah dihubunginya semalam.
Ia meminta Dani untuk menjemputnya di Ujong Pacu dan mengantar ke markas Kompi D1 Pase Apa Syam di kawasan Dewantara.
“Apakabar, Pakwa. Bagaimana kondisi kau selama ini?” ujar Dani begitu melihat Musa mendekat.
Mata Dani kemudian tertuju pada rantang makanan yang dijinjing oleh Musa.
“Apa isi rantang itu. Apakah makanan? Aromanya tercium enak.”
“Iya. Aku sempat bermalam di Paloh. Ibu datang dan membawa rantang berisi makanan. Kau mau?” ujar Musa.
Dani tersenyum. “Benar ini, Pakwa? Kebetulan aku sedang sangat lapar. Kalau memang ikhlas, aku ingin makan sekarang,” kata Dani lagi.
“Aku tak pernah basa-basi, Dani. Kau mengenalku. Ini makanlah. Kuah pliek dan ayam ini masih terlalu banyak bagi kita berdua,” ujar Musa lagi sambil menyerahkan rantang makanan miliknya.
Dani menerima rantang tersebut dengan ekpresi penuh kesenangan.
“Oya, ayo kita ke rakit. Aku sudah meminta warga untuk menambat rakit tak jauh dari sini. Kita harus bergegas sebelum banyak orang yang melihatnya. Takut nanti ada patroli TNI,” kata Dani dengan mimik serius. Musa mengangguk.
Mereka bergegas menuju semak-semak di dekat sungai. Seperti kata Dani, ada rakit kecil yang ditambat di sana. Jaraknya hanya sekitar 100 meter dari lokasi mereka berdiri tadi. Rakit itu ditutup dengan daun-daunan sehingga luput pandangan.
Di dekat rakit, ada pria paruh baya yang sejak dari tadi berpura-pura memancing. Padahal, ia penghubung yang biasa mengantar Tentara Nanggroe dari Ujung Pacu ke markas Kompi D1 Pase di bawah komando Apa Syam.
“Hanya untuk mengelabui TNI jika ada patroli dadakan,” ujar pria paruh baya itu kepada Musa.
Mereka kemudian menyeberang dengan menggunakan rakit. Dani menyantap makanan di atas rakit. Ia makan dengan sangat cepat. Hanya dalam hitungan menit, setengah isi rantang habis dimakannya.
“Aku menyisakan setengah untukmu, Pakwa,” katanya saat rakit mulai merapat ke seberang. Ia menyerahkan rantang makanan tadi ke Musa. Dani kemudian meminta pria paruh baya tadi kembali ke Ujung Pacu. Pria itu mengangguk.
Dani dan Musa meneruskan perjalanan dengan jalan kaki hingga markas Apa Syam. Di sana, Musa dikejutkan dengan sapaan akrab dari seseorang yang akrab dengannya selama ini.
“Well, apa kabarmu, Pakwa. Kau tampak kurus,” ujar sosok itu. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post