BELAKANGAN ini nama Sutiyoso Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) melejit, lantaran berhasil ‘membawa turun gunung’ 120 orang anggota kelompok bersenjata di Aceh yang dipimpin Din Minimi.
Peristiwa itu heboh karena diliput oleh banyak media massa, baik media cetak maupun elektronik. Uniknya telah terjadi perdebatan sengit di berbagai kalangan di Aceh atas upaya yang ditempuh Sutiyoso ini. Ada-ada saja komentar miring yang dilontarkan.
Sejatinya upaya serupa telah pula dilakukan sebelumnya oleh beberapa tokoh di Aceh, tetapi tidak membuahkan hasil. Dari tokoh ulama sampai tokoh politik di Aceh telah membujuk Din Minimi, namun hasilnya nihil.
Sampai-sampai pada suatu ketika Senin, 01/06/2015 silam, Komandan Korem (Danrem) 011/Lilawangsa, Kolonel Inf Achmad Daniel Chardin, pernah bertandang ke rumah ibu Din Minimi (Sapiah), di Desa Ladang Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur, untuk membujuknya menyerah, namun tetap tidak berhasil.
Sebenarnya persoalan Din Minimi ini dilatar belakangi oleh ketimpangan kesejahteraan antara sesama mantan kombatan GAM. Pasca damai, ternyata masih menyisakan banyak mantan kombatan yang tidak jelas mata pencahariannya. Di antara mereka yang dekat dengan kekuasaan bergelimpangan dengan materi, memiliki mobil lebih dari satu dan ada pula yang membangun rumah mewah bertingkat.
Namun Pemerintah Aceh sepertinya luput pantauannya atas nasib kombatan lainnya, semisal kelompok Din Minimi ini. Atas dasar itulah mereka membuat ulah kembali dan menuntut perhatian dari Pemerintah Aceh untuk merealisasikan janji-janji sebagaimana yang tertuang dalam MoU Helsinki.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelompok Din Minimi tidak berkonflik dengan pemerintah pusat atau dengan kata lain bukan memberontak ingin memisahkan diri dari NKRI. Tetapi mereka berkonflik dengan Pemerintah Aceh untuk menuntut penyetaraan kesejahteraan dan tentunya kehidupan yang layak.
Indikasi ini kemudian ditangkap oleh Kepala BIN, Sutiyoso.
Karena di lain pihak pemerintah pusat juga merasa galau dengan timbulnya kelompok bersenjata di beberapa daerah. Lama-lama dikuatirkan akan disusupi oleh jaringan teroris atau bahkan paham ISIS yang sangat ekstrim itu, dapat merusak tatanan budaya berbangsa dan bernegara.
Beranjak dari sinilah kemudian Sutiyoso –akrab disapa Bang Yos, mulai memainkan manajemen konflik dengan sangat cerdas.
Sebelum membahasnya lebih lanjut tentang hal ini, sebaiknya kita defenisikan lebih dulu apa itu konflik?
Menurut William dan Hocker (2001), konflik adalah suatu pertentangan antara sedikitnya dua pihak yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain namun mempunyai tujuan atau sasaran yang tidak sama, memiliki keterbatasan sumber daya, dan campur tangan pihak lain dalam mencapai sasarannya masing-masing.
Dalam pandangan tradisional konflik dipandang secara negatif karena dikaitkan dengan kekerasan, kerusakan, kesengsaraan dan pembunuhan yang tidak berprikemanusiaan. Oleh karena itu, menurut pandangan ini konflik harus dihindari. Dan bila konflik telah terlanjur terjadi maka harus diupayakan untuk segera diakhiri adalah satu opsi yang harus dijalankan.
Penyebab Konflik
Terkait konflik antara kelompok Din Minimi dengan Pemerintah Aceh ini, dapat dianalisis bahwa hal itu terjadi karena tiga hal:
Pertama, komunikasi yang buruk. Dalam masalah seperti tersebut di atas, dapat diduga bahwa telah putus komunikasi diantara pihak yang bertikai. Juga mungkin saja penyampaian komunikasi oleh salah satu pihak dilakukan dengan cara yang tidak tepat, sehingga dapat menyinggung perasaan pihak lain. Akibatnya apa yang dikomunikasikan tidak hiraukan. Dalam hal ini keterampilan berkomunikasi secara baik dan tepat sangat diperlukan.
Kedua, tidak adanya keterbukaan dan kepercayaan antar anggota. sebagai wujud transparansi, seyogiayanya seluruh informasi harus dijamin tersampaikan secara utuh kepada seluruh anggota kelompok dan dapat diakses secara leluasa. Sedangkan untuk menumbuhkan kepercayaan, maka pimpinan kelompok harus mengamalkan falsafah melayu “cakap serupa buat”.
Di zaman modern ini, banyak ditemui apa yang diucapkan sang pemimpin hanya sebagai “lips servis” semata, demi ambisi syahwatnya menuju kursi panas kekuasaan. Setelah itu nafsi-nafsi, dalam konotasi Aceh disebut: “Di kah–di kah, di kee–di kee” (artinya: Anda urus nasib Anda, saya urus nasib saya).
Ketiga, ketidakmampuan para pimpinan untuk tanggap terhadap aspirasi bawahan. Ini adalah hal yang paling kritis dan krusial yang harus menjadi perhatian dari pemimpin kelompok. Ada satu pepatah Aceh yang sangat menarik kita cermati, yaitu: “Di laot sapeu pakat, oh troh u darat laen keunira” , yang dapat ditafsirkan lebih kurang seperti ini: “Di kala dalam keadaan susah semua setuju dengan satu hal yang telah disepakati, tetapi tatkala sudah terlepas dari kesusahan, maka sudah berpaling dari kesepakatan semula”. Akibat ikhwal inilah pangkal mula terjadinya keretakan dalam tubuh kelompok.
Manajemen Konflik
Berbagai upaya telah dilakukan sebelumnya untuk menyelesaikan konflik terkait kasus Din Minimi ini, sebagaimana telah diuraikan di atas, namun tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Dalam teori manajemen konflik, dikatakan bahwa konflik yang telah terlanjur terjadi harus dapat dikelola dengan baik. Karena akibat yang ditimbulkan oleh konflik akan memberi akibat negatif dalam jangka panjang.
Dalam konteks kehidupan bernegara efeknya dapat berupa kacaunya suasana, gangguan keamanan atau terputusnya hubungan antar manusia bahkan menghalangi tercapainya tujuan bernegara itu sendiri yaitu kemakmuran bagi seluruh rakyat.
Robbins dan Judge (2007), membagi cara penanganan konflik ke dalam lima model;
Pertama, kompetisi. Gaya ini bersikap tidak kooperatif tetapi asertif (unsur memaksa), bekerja dengan cara menentang keinginan pihak lain, berjuang untuk mendominasi dalam suatu situasi “menang-atau-kalah”, dan atau memaksakan segala sesuatu agar sesuai dengan kesimpulan tertentu dengan menggunakan kekuasaan yang ada.
Kedua, kolaborasi (kerjasama). Gaya ini bersikap kooperatif dan asertif, berupaya untuk mencapai kepuasan benar-benar setiap pihak yang berkepentingan dengan jalan bekerja melalui perbedaan-perbedaan yang ada, mencari dan memecahkan masalah sedemikian rupa sehingga setiap orang mencapai keuntungan sebagai hasilnya.
Ketiga, menghindar. Gaya ini bersikap tidak kooperatif dan tidak asertif, menarik diri dari situasi yang berkembang dan atau bersikap netral dalam segala macam “cuaca”.
Keempat, akomodatif. Ketika salah satu pihak berusaha menyenangkan hati lawannya, pihak tersebut kiranya akan bersedia menempatkan kepentingan lawan di atas kepentingannya sendiri. Dengan kata lain agar hubungan tetap terpelihara, salah satu pihak bersedia berkorban.
Kelima, kompromis. Ketika masing-masing pihak yang berkonflik berusaha mengalah dalam satu atau lain hal, terjadilah tindakan berbagi, yang mendatangkan kompromi. Dalam model kompromi ini, tidak jelas siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Dari lima model penanganan konflik di atas, menurut hemat penulis Pemerintah Pusat yang diwakili Bang Yos selaku Kepala BIN dengan sangat arif dan bijaksana telah melakukan pendekatan model akomodatif dan kompromis dalam menyelesaikan konflik ini.
Pemerintah Pusat mengakomodir atau bersedia memenuhi apa yang dituntut oleh pihak Din Minimi meliputi:
a). Lanjutkan proses reintegerasi, b). Kesejahteraan para janda korban dan mantan GAM dijamin oleh pemerintah, c). Kesejahteraan anak-anak yatim piatu korban dan keluarga mantan GAM dijamin kepastiannya oleh pemerintah, d). KPK menyelidiki dugaan penyelewengan dana APBA oleh Pemerintah Aceh, e). Adanya pemantau indenpenden dalam Pilkada Aceh pada 2017, dan f). Pemberian amnesti kepada seluruh anggota kelompok Din Minimi yang menyerahkan diri.
Sedangkan tindakan kompromis, dapat dilihat bahwa akibat tindakan ini tidak ada yang yang dapat dikatakan kalah atau menang diakhir episode Din Minimi ini. Pihak pemerintah pusat memenuhi tuntutan Din Minimi dan berjanji melibatkan kelompoknya dalam pembangunan.
Namun di pihak Din Minimi, mereka bersedia turun gunung, bergabung kembali dengan masyarakat serta bersedia menyerahkan seluruh senjata api yang dimiliki kelompoknya kepada pemerintah.
Sebenarnya dengan segala kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki, Pemerintah Pusat bisa saja melakukan pendekatan model pertama (kompetisi atau represif) dalam menyelesaikan masalah ini.
Namun konsekuensinya akan menimbulkan korban jiwa yang berimbas pada timbulnya penderitaan dan rasa dendam yang tiada berujung.
Akhirnya penulis teringat apa kata Presiden Jokowi pada suatu ketika: “Masa kita berkelahi terus, ayo kita bangun negeri ini secara bersama-sama”. Salut pada Bang Yos dan salam hormat pada Pak Jokowi.***
Penulis:
Zainal Putra, SE, MM
Dosen Universitas Teuku Umar, Aceh – Indonesia
Discussion about this post