NYAK Ti terus menelusuri jalan kampung. Beberapa kali ia bergeser ke sisi kiri ketika ada sepeda motor yang melintas. Ia juga kerap melompat saat melihat lobang besar di badan jalan.
Di perempatan jalan, Nyak Ti secara tak sengaja berjumpa dengan Kek Daud. Pria bercucu 4 ini lebih tua sekitar 4 tahun darinya. Sebelum sama-sama menikah, Kek Daud termasuk salah seorang yang “rajin” mencari perhatian orang tuanya.
Namun mereka tak berjodoh. Niat Kek Daud ternyata tak direstui orangtuanya.
Keluarga Kek Daud memang termasuk kaum berada di Paloh. Kata orang-orang tua di kampung, mereka orang berharta. Tanahnya luas dan bisa ditunjuk dengan dagu. Istilah ini ditunjukan bagi hartawan yang memiliki tanah terlampau luas.
Hampir belasan hektare tanah yang dibeli pemerintah untuk area Arun merupakan tanah keluarga Kek Daud. Namun tanah itu dibeli pemerintah sangat murah. Tak sepadan dengan harga tanah yang mengandung minyak dalamnya.
Padahal, keluarga besar Kek Daud terpaksa harus membongkar makam keluarga demi berdirinya perusahaan raksasa itu. Makam para leluhurnya.
Hanya beberapa tahun, uang hasil pembelian tanah itu habis. Ayah Kek Daud yang merasa bersalah dengan leluhur kemudian sakit-sakitan dan akhirnya meninggal.
Kek Daud sendiri menikah dengan seorang perempuan pilihan keluarganya. Ia memiliki dua orang putra yang kini sama sama sudah menikah dan memiliki anak.
Kedua putranya sempat melamar sebagai Satpam pada PT Arun. Pos Satpamnya berdiri pas di dekat tanah bekas milik keluarganya. Namun lamarannya anaknya ditolak perusahaan itu. Padahal mereka berijazah sarjana.
“Apa kabar Kek Daud. Sehat kah kau selama ini?” ujar Nyak Ti menyapa.
Kek Daud menatap heran. Ia seperti tak mengenali Nyak Ti. Padahal mereka satu kampung di Paloh. Hanya beda dusun saja.
Tangan kanan lelaki tua itu sibuk memegang goni yang berisi rumput muda yang diletakan di tempat duduk belakang sepeda ontelnya. Rumput itu akan digunakan sebagai makanan ternak.
Wajahnya sedikit membiru di dekat mata. Ada benjolan di sana. Seperti orang yang habis dipukul atau kecelakaan.
“Saya Nyak Ti, Kek Daud. Apakah kau masih kenal?” kata Nyak Ti lagi.
Kali ini Kek Daud tersenyum. Ia mengangguk pelan. “Kapan aku pernah lupa samamu Nyak Ti. Biarpun kita sudah sama sama tua dan tak berjodoh, aku masih ingat samamu,” ujar pria tua itu.
“Ah, tak usah kau merayu. Kita sudah tua. Dari mana kau Kek Daud,” tanya Nyak Ti lagi.
“Aku tak merayu. Saat muda saja, rayuanku tak mempan, apalagi saat sudah tua seperti ini,” ujar Kek Daud.
“Baru selesai memotong rumput di lapangan komplek Arun. Namun kena pukul karena dituding mau menanam bom,” kata Kek Daud sambil mengelus wajah.
“Ya sabar Kek Daud. Kita sedang darurat,” kata Nyak Ti prihatin.
“Ya apalagi yang harus kita katakan. Sepertinya limpahan minyak di negeri kita ini seperti kutukan. Sumber daya alam yang berlimpah justru dikuasai asing dan pemerintah pusat. Kita dibiarkan bodoh agar tak banyak menuntut,” ujar Kek Daud lagi.
“Semakin bodoh kita, maka semakin enak penguasa menguasai negeri ini. Aku menyesal menjadi orang bodoh,” katanya lagi. Nyak Ti terdiam.
Kek Daud menghembus nafas panjang. Ia seolah menyesali hidupnya.
“Mau kemana kau Nyak Ti? Aku melihat kau cantik sekali hari ini?” ujar Kek Daud mengalihkan pembicaraan. Sedangkan Nyak Ti tersenyum. Namun ia tidak menjawab.
“Saya mau ke depan Kek Daud. Mau ketemu seseorang sebentar,” katanya singkat menyimpan rahasia. Lelaki tua itu cuma mengangguk.
“Kalau begitu pergilah. Aku takut kalau lama lama di sini nanti masuk TNI. Salah salah, nanti kita jadi jadi korban salah sasaran,” kata Kek Daud. Nyak Ti mengangguk dan meneruskan langkahnya. Ia meninggalkan Kek Daud lah yang masih berdiri menahan sakit bekas pukul di wajahnya.
“Nanti oleslah obat di luka itu. Isya Allah segera sembuh. Janganlah memotong rumput di sana lagi. Nanti kau malah dituduh yang tidak tidak lagi,” kata Nyak Ti dari kejauhan. Sedangkan Kek Dauh mengangguk tanda mengiyakan.
Dari persimpangan, Nyak Ti berbelok ke kiri. Di sana, ia mencari-cari rumah warna putih yang ada pohon mangga di depannya. Tak sulit mencari rumah itu. Letaknya di sudut jalan. Rumah ketiga dari kiri. Kata Tentara Nanggroe tadi pagi, di rumah itulah anaknya menginap. Ke sanalah Nyak Ti melangkah.
Dari kejauhan, Adi muncul dari semak-semak sebelah kiri rumah putih tadi. Pria berbadan kekar itu tersenyum. Ia seperti sedang memberi pengawalan. “Pakwa ada di dalam Nyak. Masuk saja,” ujarnya sambil menenteng AK-47. Nyak Ti mengangguk.
Dua kali diketok, pintu rumah terbuka. Di balik pintu, sosok perawakan besar muncul. Rambutnya acak-acakan. Kumisnya tampak belum dicukur. “Ya Tuhan, Musa. Apa kabarmu nak,” ujarnya berlinang air. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post