“Mau jalan biasa atau jalan alternative, Pakwa,” kata Junaidi, sang penghubung kepadaku sebelum kami berangkat.
Jalan biasa berarti melalui jalan raya Banda Aceh-Medan. Dengan kondisi darurat militer, sweping TNI bisa jadi kian marak. Lebih-lebih lagi jika terjadi kontak tembak antara TNI dengan pasukan GAM.
Kondisiku sebagai Tentara Nanggroe yang membawa pistol FN tentu akan sangat berbahaya. Maka, aku kemudian memilih jalan alternative.
“Kita melalui jalan alternative saja. Lebih aman,” ujarku. Ia mengangguk. Kami berangkat pukul 10.00 WIB.
Jalan alternative berarti jalan desa atau setapak. Kami juga tak menggunakan sepeda motor. Ini bertujuan agar lebih mudah menghindari patroli TNI jika memang berpas-pasan di jalan nanti.
Dari Desa Meunasah Mee, Kemukiman Kandang, kami melewati jalan belakang Polres Lhokseumawe. Jalan sedikit berliku. Kadang-kadang malah harus melewati belakang pos dadakan milik TNI yang didirikan di persimpangan jalan.
Saat melihat TNI sedang patroli, kami beberapa kali harus tiarap serta masuk dalam rumah penduduk.
Dari Kandang, kami menuju Panggoi, Paya Bili dan Cot Panggoi. Aku menghubungi pasukan dan penghubung di tiap desa sebelum kami masuk. Tujuannya untuk memastikan keadaan aman.
Para Tentara Nanggroe juga memberi pengawalan sepanjang rute yang kami tempuh. Tujuannya untuk meminimalisir pengerakan TNI. Belakangan aku mengetahui, ini atas permintaan Bang Yan selaku Panglima Wilayah Pase.
Sekitar pukul 15.00 WIB, kami akhirnya tiba di kemukiman Paloh. Sekitar 5 jam perjalanan. Padahal, jarak dari Kandang ke Paloh hanya 13 kilometer.
Dua Tentara Nanggroe menyambut kami. Mereka adalah Adi dan Munir. Mereka menenteng AK-47.
“Selamat datang kembali ke kampung halaman, Pakwa,” ujar Adi tersenyum. Ia dan Munir memelukku.
Adi berpostur kekar. Kulitnya sawo matang. Sedangkan Munir berbadan agak kurus. Keduanya merupakan mantan anggota pasukanku saat masih menjabat Ulee Pasukan Mukim Paloh.
Usai memastikan aku aman, Junaidi minta izin untuk kembali ke kampungnya. Ia menuju jalan raya dan menyetop mobil angkutan penumpang L300.
Sedangkan aku diajak oleh Adi dan Munir ke pinggiran kampung. Di sana ada pondok kecil yang biasa digunakan oleh Tentara Nanggroe untuk istirahat. Di sanalah kami berbincang-bincang untuk sekedar melepas lelah.
“Bagaimana kondisi Pasukan Nanggroe di atas, Pakwa,” ujar Adi memulai percakapan. Atas yang dimaksud Adi merupakan lokasi yang kini menjadi tempat bertahan pasukan nanggroe di pedalaman Aceh. Kebanyakan merupakan pasukan elit GAM.
“Aku tak tahu bagaimana kabar mereka. Namun di beberapa tempat, mereka terjepit. Kontak tembak sering terjadi. Aku berharap mereka bisa bertahan,” ujarku.
“Komunikasi dengan Bang Yan masih lancar. Demikian juga dengan beberapa petinggi Pase lainnya. Aku sama mereka sempat bersama saat di pedalaman Aceh Utara yang berbatasan dengan Bener Meriah. Namun kembali berpencar usai mengetahui TNI turun dari Bener Meriah,
ujarku lagi.
“Kapan itu?” sela Munir.
“Sekitar 3 atau 4 pekan lalu. Itu terakhir aku bertemu dengan Bang Yan. Sedangkan dengan Teungku Ramli dan Said Adnan, kami berpisah di Krueng Thoe, Madat, Aceh Timur,” kataku.
“Dengan Ayah Halim di Panton Labu. Mungkin ia sekarang masih bersama Teungku Ramli bersama pasukan D4 Pase. Aku berdoa mereka baik-baik saja. Semoga Allah melindungi mereka,” ujarku lagi.
“Bagaimana dengan kalian di Paloh? Baik baik saja kah,” kataku. Adi dan Munir saling berpandangan. Mereka tersenyum.
“Tidak ada tempat yang aman bagi kita selama darurat ini, Pakwa. Perang tak dapat dihindari,” ujar Munir.
“Seperti yang pernah engkau ajari. Tempat yang paling aman adalah sarang musuh. Makanya, ketika malam tiba, kami selalu mencari tempat tidur di dekat markas mereka. Saat pagi, baru kami kembali ke pos masing-masing. Saat TNI masuk, mau tak mau ya perang,” kata Adi sambil mengangkat AK-47 miliknya. Aku cuma tertawa mendengar penuturannya.
Seorang warga muncul 30 menit kemudian. Ia datang dengan membawa sekantong kopi hitam, gorengan, serta tiga bungkus rokok Dji Sam Soe. Pemuda itu sedikit kaku. Ia tersenyum dan kemudian berlalu.
“Selama perang, yang sulit dicari hanya kenyamanan. Sedangkan kopi dan gorengan tetap ada. Rokok juga demikian,” kata Adi. Aku tersenyum.
Adi kemudian menuang kopi dalam tiga gelas plastic. Aku meneguk kopi pelan. Maklum masih panas.
“Maaf Pakwa, tak ada kopi ginseng. Tadi sudah kupesan sama pemuda itu, tapi tak dibeli. Maklum orang baru,” ujar Adi.
Kami berbincang-bincang hingga jelang magrib. Usai salat berjamaah di masjid. Adi dan Munir mengantarku ke salah satu rumah penduduk di kawasan Paloh. Adi masuk dan berbisik sesuatu ke sang pemilik. Sedangkan sang pemilik rumah hanya mengangguk beberapa kali.
“Pakwa menginap di sini saja malam ini. Kami akan berjaga-jaga tak jauh dari lokasi. Ada pasukan lain juga nanti. Aman,” ujarnya saat mendekatiku. Aku mengangguk. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga:
Discussion about this post