SUASANA tegang. Seorang anak kecil di sudut warung terdengar menangis. Aku tak melihat sejak kapan ia berada di sana. Aku mencoba berpikir keras untuk keluar dari masalah.
Saat kepala pasukan Raider itu mendekat. Aku berusaha tersenyum. Ternyata ia malah membentakku.
“Apa kau ketawa? Nantang ya? Tentara Nanggroe kau ya?” ujar dia. Ismail kian pucat.
“Jalok rokok?” tiba-tiba terdengar suara salah seorang Raider lainnya meminta rokok.
Ia berbicara pada teman di sisi kirinya. Sebelum temannya menjawab, aku memotong pembicaraan mereka.
“Iki ono rokok Mas. Mau? Jalok wayee. Ora opo-opo,” ujarku sambil menyerahkan rokok Dji Sam Soe.
Sang Raider dan teman tadi terlihat heran melihatku. Demikian juga dengan Kepala Pasukan Raider yang membentak tadi.
“Sopo kowe?” ujarnya.
“Saya orang Aceh, Mas. Tapi lama di Jawa,” jawabku.
“Di Jawa, dimananya kamu?” ujarnya lagi seakan tidak percaya.
“Di Yogyakarta, Mas. Kuliah di UGM,” kataku.
“Yogya ne, nendi?” sela Raider yang meminta rokok tadi dari arah belakang. Ia mendekat untuk mengambil rokok dariku.
“Demangan, Mas,” jawabku.
“Oo, Kalau saya di Jetis,” katanya.
Pembicaraan kami kemudian beralih ke soal Yogya. Sang Raider tadi mengaku rindu dengan kampung halamannya. Ia bahkan sempat curhat kepadaku tentang ketakutan keluarganya saat akan ditugaskan ke Aceh.
“Nanti kamu ditembak sama orang GAM,” ujar Raider tadi mengulang perkataan keluarganya.
Belakangan ia memperkenalkan diri dengan nama Sugeng.
Sikap sang kepala pasukan Raider juga berubah. Ia yang tadinya marah-marah, jadi lembut. Ia juga mengambil kursi di samping Ismail dan duduk berhadapan denganku.
“Maaf tadi hanya mengertak. Saya hanya ingin mengetahui, ada tidak Tentara Nanggroe di sini,” katanya. Aku mengangguk.
“Kamu dari mana?” tanyanya.
“Saya baru pulang dari Panton Labu. Sampai di sini istirahat. Soalnya ada pos TNI, saya pikir aman,” jawabku beralasan.
“Ini adik saya,” ujarku lagi sambil menunjuk ke arah Ismail. Sang kepala Raider tadi kemudian tertawa dan memeluk Ismail.
“Sorry boy. Tak takut kau kan?” ujarnya ke Ismail. Sedangkan pemuda itu cuma tersenyum.
“Kalian harus hati-hati. Di sini kawasan petinggi GAM. Namun sekarang sudah aman karena ada pos TNI,” ujarnya.
Mendengar hal ini aku cuma mengangguk. “Kan sekarang ada Bapak lagi. Tentu lebih aman,” kataku memuji.
“Ya. Tadi aku cuma sedikit kesal. Soalnya kami dilempari granat sama GAM tadi,” katanya lagi.
“Di daerah mana Mas?” tanyaku pura-pura.
“Kalau tak salah, Panggoi. Ya Panggoi,” jawabnya.
Sekitar 30 menit kami berbincang-bincang, pemimpin Raider tadi minta izin melanjutkan perjalanan.
“Kami ingin ke Lhokseumawe. Kamu berhati-hatilah ya,” ujarnya lagi.
Ia kemudian mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa uang kertas serta diserahkannya ke pemilik warung.
“Semua saya traktir ya. Bisa minum sepuasnya,” ujarnya.
“Lon jak balek dilee,” katanya lagi berbahasa Aceh.
“Kalau ada apa-apa. Kamu bilang saudaranya Sugeng dari markas Cot Girek, Lhoksukon,” kata Raider Sugeng yang berdiri di belakang.
Kami yang mendengarnya tertawa. Suasana di warung berubah. Dua anggota TNI yang ngopi berdiri memberi hormat.
“Sekarang Kandang sudah aman dari GAM. Sejak kami berada di sini. Tak ada Tentara Nanggroe lagi,” ujar salah seorang di antaranya.
Di pinggir jalan, kepala Raider tadi kemudian memanggil seluruh anggota pasukan untuk kembali ke mobil Reo. Mereka bereaksi cepat. Hanya hitungan detik melompat ke atas truk. Sedangkan sang kepala memilih duduk di depan. Ia sempat melambai tangan ke arahku. Mereka pun kemudian menghilang di tikungan jalan.
Aku memberi isyarat kepada Ismail untuk segera mengambil sepeda motor dan meninggalkan lokasi itu. Ia sepertinya paham. Kami kembali melaju dengan kecepatan tinggi. Ismail tak berani bertanya kepadaku.
Setiba di markas, aku turun dan bergegas ke ruang tamu. Ismail menyusulku dari arah belakang.
Saridin memandangku dengan wajah keheran-heranan. Demikian juga dengan Teungku Muhammad Nur, Suadi dan Si Abang.
“Kenapa kalian? Apa yang terjadi?” ujar Saridin. Namun aku tak bisa menjawab. Kakiku terasa lemas. Aku berbaring. Darah seakan tak mengalir hingga kaki.
“Tadi ada belasan Raider mengepung kami saat ngopi di warung,” ujar Ismail sambil berbaring di sisi kananku. Saridin terkejut.
“Lantas apa yang terjadi,” kata Teungku Muhammad Nur tiba-tiba.
Wajahnya terlihat panik serta penasaran. Suadi dan Si Abang kompak mengangguk. Mereka mendekati kami.
“Untung aku bisa bahasa Jawa. Mereka akhirnya malah mentraktir kami se-warung. Lumayan bisa hemat. Namun dadaku berdetak cepat karena panik serta takut. Kakiku lemas,” ujarku.
“Karap meuramah,” kataku lagi. Tawa Saridin pecah. Sedangkan Teungku Muhammad Nur tersenyum.
Aku kemudian meletakan dompet dan handphone di dekat kepala. Tujuannya agar bisa istirahat dengan tenang. Namun mataku justru tertuju pada layar handphone. Di sana ada 12 panggilan masuk yang tak terjawab. 4 diantaranya berasal dari nomor handphone milik Billy. Aku memang mematikan nada dering saat di warung kopi tadi.
“Ada apa ya?” gumamku. [Bersambung]
Cerita Bersambung ini karya Musa AM
Baca juga:
[Cerbung] Sang Kombatan (11)
[Cerbung] Sang Kombatan (12)
[Cerbung] Sang Kombatan (13)
[Cerbung] Sang Kombatan (14)
[Cerbung] Sang Kombatan (15)
[Cerbung] Sang Kombatan (16)
Discussion about this post