AKU dan Saridin berjalan kaki menelusuri jalan desa. Kami bergabung dengan beberapa penduduk yang hendak menuju sawah. Sebelum berangkat tadi, Kami memang sengaja berdandan ala petani. Tujuannya, untuk mengecoh TNI jika seandainya berpapasan di jalan nantinya.
Di persimpangan jalan, rombongan ini pecah. Para petani mengarah ke kiri. Sedangkan kami mengambil jalan kanan.
Kami mengarah ke rumah paling ujung di Desa Meunasah Mee, Kemukiman Kandang. Sesuai kesepakatan tadi pagi, di rumah itulah kami berkumpul hari ini. Di sana, Suadi dan Si Abang terlihat duduk di teras.
Beberapa anggota pasukan nanggroe terlihat memegang AK-47 di sekeliling lokasi itu. Mereka memberi pengawalan berbentuk huruf 0 lapis dua.
Suadi merupakan staf gubernur untuk daerah 2 Pase. Atasannya, Gubernur Pase atau Said Adnan. Suadi membawahi sipil GAM untuk daerah 2 Pase.
Dalam perjuangan GAM, militer atau tentara nanggroe berada di garis depan. Sedangkan kegiatan sipil harus sikron dengan arah TNA. Semua arahan komando berasal dari panglima.
Suadi mengangguk ketika melihat aku dan Saridin tiba. Kami kemudian menuju ke ruang tamu.
Teungku Muhammad Nur tiba 30 menit di belakang kami. Ia diantar seorang penghubung dengan menggunakan sepeda motor. Semalam, ia memang ditempatkan di rumah penduduk yang berada di Desa Meunasah Mamplam. Lokasi ini sedikit jauh dari Meunasah Mee.
Aku yang mendengar suara sepeda motor, segera keluar rumah. Aku memanggil penghubung tadi. “Mau kemana?”
“Mau kembali ke rumah, teungku. Kalau lama-lama, takut orang curiga,” ujar pemuda itu. Ia memakai baju kemeja putih garis hitam.
“Tolong, antar saya dulu ke depan. Saya mau lihat-lihat suasana lalu lintas di Kandang,” pintaku. Wajah pemuda tadi tampak bias. Namun ia tak berani menolaknya.
“Pakwa, mau kemana lagi?” ujar Saridin tiba-tiba. Ia muncul dari belakangku.
“Mau lihat-lihat suasana dulu. suntuk. Kami keliling pantau keadaan ya,” ujarku sambil duduk di belakang pemuda tadi. Saridin terkejut.
“Apa perlu didampingi beberapa anggota pasukan? Di Simpang Kandang itu, ada pos TNI. Sangat berbahaya itu,” kata Saridin lagi.
“Tak perlu. Ingat, tempat paling aman itu adalah dekat dengan sarang musuh,” ujarku. Melihat keyakinanku ini, Saridin akhirnya tak lagi berkomentar. Ia hanya melihat kami pergi dengan wajah bias.
Kami hanya butuh beberapa menit ke Simpang Kandang. Memang di dekat persimpangan jalan, ada pos TNI. Ada tumpukan goni berisi pasir di depannya. Tumpukan pasir dalam goni itu berfungsi sebagai penahan peluru jika ada serangan mendadak dari Tentara Nanggroe.
Aku meminta penghubung untuk berhenti di dekat warung kopi. Jaraknya hanya 50 meter dari pos TNI tadi.
Aku kemudian turun dan memintanya untuk segera pergi. Namun ia sepertinya keberatan.
“Saya harus menunggu hingga Abang selesai ngopi dan mengantar kembali ke rumah tadi,” ujar pemuda itu. Aku tersenyum mendengarnya.
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Ismail, Bang,” jawabannya dengan wajah pucat.
“Baik Ismail. Kita ngopi dulu. Selesai ngopi baru pulang. Bersikaplah seperti biasa atau kamu bisa membunuh kita berdua,” ujarku. Ismail mengangguk. Ia mencoba santai.
Aku memesan kopi ginseng. Sedangkan Ismail memilih teh hangat. Pemilik warung juga menghidangkan kami sepiring kue.
“Aku tak bisa tidur dari semalam. Saridin, orang yang ngomong tadi, tidurnya ngorok,” ujarku mencoba mencairkan suasana. Ismail terlihat tersenyum.
Ia sudah mampu mengendalikan diri, termasuk saat dua orang TNI masuk dan ngopi di samping kami.
Aku dan Ismail mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang berhubungan dengan desa. Seperti persoalan panen padi serta cerita lucu lainnya. Ini agar kedua TNI tadi tak curiga.
Namun sekitar 30 menit kemudian, satu unit mobil Reo milik TNI tiba-tiba merapat depan warung kami ngopi. Mereka meluncur dari arah Banda Aceh. Belasan Raider turun dengan senjata lengkap.
Mereka terlihat lelah. Raider ini seperti baru selesai kontak tembak dengan Tentara Nanggroe. Perkiraanku mereka baru saja dihadang oleh Tentara Nanggroe di D1 Pase. Ya, pasukannya Apa Syam.
Kedatangan Raider ini membuat seisi warung kopi panik. Dua TNI yang sedang ngopi di samping kami berdiri memberi hormat. Namun mereka malah dibentak.
“Apa kalian ini. Kami diserang, kalian asyik ngopi,” ujar seorang Raider. Aku menduga ia adalah kepala pasukan.
“Tidak Dan. Baru selesai tugas. Siap Dan,” jawab salah seorang TNI di warung kopi.
Ismail panik. Wajahnya pucat. Aku mencoba menenangkannya tapi tak berhasil.
Kepala pasukan Raider tadi malah memandang ke arahnya. Ia terlihat curiga. Ia mendekat dengan menenteng senjata. “Oh, ada Tentara Nanggroe yang sedang ngopi di sini rupanya,” ujarnya. Seisi warung kopi kembali panik, termasuk aku. Aku mencoba menguasai diri. Jika melawan berarti seisi warung kopi akan jadi korban.
“Ada dua orang ternyata,” ujar Raider itu lagi. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post