Kisah Din Minimi dan 120 pengikutnya masih menghiasi sejumlah headline media massa.
Tak ada sisi yang tak disorot. Mulai dari proses turun gunung hingga kicauan anak dari Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) soal keadaan ayahnya di sarang Din Minimi.
Kenduri besar Din Minimi pun menjadi headline di salah satu media lokal di Aceh. Demikian juga dengan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Din Minimi. Sekecil apapun seolah tetap menarik untuk dikupas oleh media massa.
Hal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi penulis selaku orang awam di Aceh. Kenapa media, baik cetak maupun online di Aceh, begitu lebay dalam mempromosikan Din Minimi. Mengangkat sisi heroisme Din Minimi, tetapi lupa dengan sikap objektivitas pemberitaan.
Apakah ini dilakukan secara sengaja atau memang media di Aceh mudah terhipnotis isu besar.
Ada banyak sisi gelap yang terkesan sengaja ditutup oleh media massa soal Din Minimi. Padahal sisi ini belum diungkap agar masyarakat Aceh tak terus menerus disajikan salah.
Informasi tersebut, seperti keterlibatan kelompok ini dalam berbagai kasus penculikan serta perampokan serta penembakan dua TNI di Nisam beberapa waktu lalu. Dimana, sebelumnya polisi mengatakan Din Minimi lah pelaku penembakan tersebut. Hal ini kemudian didukung dengan pengakuan mantan anggota Din Minimi yang tertangkap.
Pertanyaannya, kenapa Polda Aceh seakan bungkam terhadap hal ini. Mereka seakan pasrah dengan keadaan hari ini. Apalah ada tokoh besar di balik Din Minimi sehingga membuat TNI dan Polri tak berkutik?
Selaku orang awam, saya juga sempat bingung dengan isu Din Minimi. Dimana, sosok itu saat masih berada di hutan, setiap hari bisa dihubungi oleh para wartawan. Ini terbukti dengan banyaknya berita media massa, terutama online, dibuat via wawancara langsung dengan Din Minimi. Anehnya, polisi mengaku sulit untuk menangkapnya.
Apakah alat yang digunakan polisi masih sangat jadul sehingga mereka tak bisa bekerja maksimal. Pertanyaan ini terus menjadi tanda tanya besar bagi penulis.
Keanehan lainnya, beberapa hari sebelum kepala BIN menemui Din Minimi, polisi bahkan belum mengetahui posisi kelompok itu. Ini terbukti dengan adanya kasus pemukulan geuchik dan imuem mukim oleh oknum polisi karena kesal tak diberitahu lokasi Din Minimi.
Namun selang beberapa hari, Bang Yos justru dengan mudah bertemu dengan kelompok itu dan bisa membuat Din Minimi turun gunung. Untuk satu hal ini, kita memang perlu memberikan apresiasi kepada sosok mantan gubernur Jakarta ini.
Mungkin ini adalah negosiasi tercepat di dunia dan perlu mendapat penghargaan perdamaian.
Kemudian, jika berdasarkan pemberitaan media massa, turunnya Din Minimi juga tak disertai dengan perjanjian khusus. Semacam MoU seperti perjanjian Republik Indonesia dengan GAM tahun 2005 lalu.
Kelompok Din Minimi dengan Bang Yos hanya didasari saling percaya. Lagi-lagi ini jika merujuk pada pemberitaan media massa. Bila ini benar adanya, maka ini lagi-lagi keanehan lain yang tak pernah diungkap oleh media massa di Aceh maupun nasional. Atau media massa memang tak berani mengungkapkannya.
Saat menulis opini ini, penulis mencoba mencari sejumlah kasus perdamaian antara kelompok bersenjata, yang terjadi di berbagai belahan dunia melalui google. Hampir semuanya ternyata melalui proses dialog yang sangat banyak.
Dua kasus yang dianggap berhasil seperti perdamaian Aceh dan Mindanoa. Namun keduanya melalui proses dialog panjang.
Kasus ini berbeda jauh dengan proses turun gunungnya Din Minimi. Sehari usai turun, sosok tersebut bahkan bisa menggelar kenduri untuk 300 anak yatim bila merujuk pada pemberitaan salah satu media lokal.
Penulis khawatir, keyakinan Din Minimi terhadap Bang Yos akan berujung dengan cerita pahit. Dimana kita ketahui, perjanjian Lamteh dan MoU Helsinki sendiri hingga kini tak ada kejelasan. Konon lagi perjanjian yang tidak berdasarkan hitam di atas putih seperti yang dilakukan Din Minimi.
Menurut penulis, kasus Din Minimi juga akan membuat penegakan hukum di Aceh, serta Indonesia pada umumnya, akan buruk. Dimana kita khawatirkan, ke depan nanti, akan banyak kelompok bersenjata lainnya yang muncul untuk mengikuti langkah Din Minimi. Ujung-ujungnya mereka juga akan meminta amnesti sebagai syaratnya.
Penulis, cerita Din Minimi memberi catatan buruk bagi penegakan hukum di Aceh. Namun media sudah terlanjut menjadikan Din Minimi sebagai tokoh karbitan baru. Walaupun cenderung lebay.
Suka tidak suka, namun inilah yang terjadi. Dimana, kita hidup di Negara yang rakyatnya selalu disaji sinetron hampir tiap media. Saat seperti ini, masyarakat yang seharusnya cerdas dalam menganalisa sajian tersebut.
Penulis adalah Ikhwanul Muslim, warga Aceh dan tinggal di Banda Aceh.
Discussion about this post