USAI salat Dhuhur, salah seorang pasukan memanggilku. Raut wajahnya agak asing. “Mungkin bukan pasukan dari Pase,” pikirku. Ia memintaku untuk menghadap Sofyan Dawood. Di kalangan Tentara Nanggroe, kami biasa memanggilnya dengan sebutan Bang Yan.
“Sebentar ya, saya pakai baju dulu,” jawabku. Aku segera meraih baju yang tergantung di dekat pintu. Sejak tiba tadi, kerjaanku memang hanya rebahan tanpa baju di ruang tamu.
“Iyo mas,” ujarnya. Aku mengerut kening. Pria itu sepertinya mengerti keherananku.
“Saya memang Wong Jawa. Tapi juga Tentara Nanggroe,” ujarnya lagi. Aku tersenyum mendengar hal ini. Aku bergegas turun. Kami kemudian mengarah ke sisi sungai. Di sana, Sofyan Dawood menungguku sambil tersenyum.
Sofyan Dawood bersandar pada batang kayu yang sudah mati.
“Aku memanggilmu kemari karena ingin diskusi. Sebagaimana yang kamu ketahui, kita sedang darurat militer. Di beberapa tempat, pasukan kita terdesak. Cepat dan lamban, daerah ini juga bakal dikuasai musuh. Aku ingin mengatur ulang strategi perang,” ujarnya.
“Bukankah Bang Yan selama ini mampu? Apa Bang Yan hanya basa-basi?” tanyaku lagi.
“Bukan basa-basi. Mungkin ada ide dari kamu untuk meminimalisir korban dari pihak kita. Seperti kataku tadi, cepat atau lamban, pasukan kita pasti terdesak. Saat ini, TNI ingin memisah kita dari masyarakat,” ujarnya.
“Nanti malam kita duduk bersama. Ada Said Adnan, Ayah Halim serta beberapa petinggi dari Peureulak. Aku sudah melapor pertemuan kita sama Mualem dan beliau akan ikut apa yang kita putuskan,” ujarnya lagi.
Sofyan Dawood kemudian berdiri di dekatku. Ia memegang batu kecil dan melemparnya ke arah sungai. “Aku mengajakmu karena aku anggap mampu. Sampai jumpa nanti malam. Aku akan cek pasukan dulu di markas sebelah. Assalamulaikum,” ujarnya usai memegang pundakku.
Saat malam tiba, Ayah Halim, Bang Yan, Said Adnan serta beberapa petinggi dari Peureulak sudah berkumpul di ruang rapat. Ruang tersebut berada di sebelah kamar tamu rumah panggung tadi. Kepungan asap rokok terlihat dari pintu masuk.
Ada beberapa gelas kopi hitam di atas meja serta satu kopi ginseng. Kami duduk melingkar. Aku duduk di sisi kanan Sofyan Dawood.
“Saat ini pasukan kita memang masih bisa bertahan. Namun aku dapat informasi ada ribuan Raider yang baru tiba melalui Krueng Geukueh dan pelabuhan Malahayati Aceh Besar. Sebahagian besar akan dikirim ke Pase dan Aceh Timur,” ujarnya.
“Apa yang harus kita lakukan panglima?” tanya Ayah Halim.
“Apa tanggapanmu Musa?” ujar Bang Yan tiba-tiba. Saat itu aku tak menyahut karena memang nama itu tak lagi akrab denganku.
“Pakwa, bagaimana tanggapanmu?” kata Bang Yan sambil memegang lenganku dengan nada agak keras. Aku terkejut. Ayah Halim dan beberapa peserta rapat lainnya tertawa.
“Apa? Saya ikut keputusan panglima,” ujarku kaku.
“Dia sepertinya sudah lupa dengan nama sendiri. Dia lebih peka jika dipanggil Pakwa,” ujar Ayah Halim. Bang Yan tertawa.
“Mungkin ke depan kita harus sering pindah tempat. Bergerilya. Jika malam sebaiknya dalam perkampungan atau dekat sarang TNI. Tempat bermalam yang paling bagus adalah sarang musuh karena mereka tak akan curiga kalau kita di sana,” ujarku.
“Aku setuju. Ini telah diterapkan oleh pejuang Aceh terdahulu. Tempat ini suatu saat juga akan dikepung. Aku minta kalian menyebar ke seluruh pasukan. Pasukan akan semangat jika para panglima ada bersamanya. Saat-saat seperti ini, mental pasukan perlu dikuatkan,” katanya lagi. Kami semua mengangguk.
Rapat kemudian ditutup. Kami keluar ruangan. Bang Yan, keluar dengan diapit oleh 8 pengawalnya. Ia menghilang dipeluk malam. Aku tak berani bertanya kemana arah Bang Yan. Namun prediksiku, ia kembali ke markas sebelah yang tak jauh dari lokasi kami tinggal.
Aku kembali mengingat kejadian dalam rapat tadi. Dimana, aku malah tak sadar saat dipanggil nama asliku. Ya, Pakwa adalah nama sandi pasukan Nanggroe untukku. Namun sandi ini telah begitu melekat dan lebih banyak disebutkan dibanding nama asli.
“Musa,” gumamku sambil tersenyum. Hanya sedikit orang yang mengetahui nama itu. Hanya Mualem, Bang Yan atau anggota pasukan yang berasal dari wilayah Teungku Di Paloh yang mengetahuinya. Namun mereka tetap saja memanggilku dengan sebutan ‘Pakwa’ jika bertemu.
Makanya panggilan ‘Pakwa’ lebih melekat. Meskipun aku sendiri masih sangat muda dan tak pantas menyandang sebutan itu.
Dalam keluarga, sebutan Pakwa biasanya disematkan untuk saudara lelaki yang lebih tua dari pihak ayah atau ibu.
Sedangkan Musa, hanya sedikit orang yang memanggilku beberapa tahun terakhir. Ya, minimal sejak aku bergabung dengan Tentara Nanggroe. Kecuali ya..Rani, sosok wanita Jawa cerdas yang masih mengirimku pesan singkat setiap harinya.
“Ya, Rani. Entah sedang apa kau di sana saat ini.” [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post