KAMI menggotong wanita tadi ke dalam rumah. Di dekat dapur, ada bangku panjang yang terbuat dari rotan. Di sanalah kami membaringkannya. Seorang anak kecil menerobos kerumunan pasukan. Ia menangis histeris.”Ibu, ibu,” kata dia.
Ayah Halim menggendong anak tadi dan membawanya keluar rumah. Ia mencoba menenangkannya.
Jamal kemudian muncul dengan Balsem di tangan. Ia mengoles Balsem di kening wanita tadi. Tak berapa lama, wanita itupun siuman.
“Ya, Allah, ya tuhanku,” ujarnya berulang kali. “Maaf, saya terkejut. 5 menit sebelum kedatangan kalian, TNI masih berada di depan pintu.”
Aku dan Jamal tersenyum.
“Maaf jika membuat ibu terkejut. Kami sangat kehausan. Kami ingin meminta sedikit air sebelum meneruskan perjalanan. Tak ada maksud lain,” ujarku. Ibu tadi mengangguk. Ia kemudian terlihat sibuk memanaskan air. Hanya dalam hitungan menit, ia membawakan kami dua teko besar.
“Satu berisi kopi dan satu lagi teh. Minumlah. Hanya ini yang saya miliki. Kami tak bisa belanja. Soalnya dari kemarin, TNI memenuhi desa ini. Saya takut ke pasar,” katanya.
Aku meminta pasukan untuk minum cepat. Soalnya, berdasarkan keterangan Jamal, Ayah Man U.S serta pasukannya sudah menunggu kami di dekat tambak Desa Buah.
Ayah Man U.S adalah pasukan Nanggroe yang juga alumni Tripoli. Ia juga menjabat sebagai keuangan daerah.
Kami kemudian pamit dan kembali meneruskan perjalanan. Di dekat tambak, Ayah Man U.S dan beberapa pasukannya sudah menunggu. Di dekatnya, ada beberapa kantong plastic yang berisi nasi uduk atau sering kami sebut dengan istilah Nasi Pagi.
“Makanlah dulu. Nanti baru kita bicara. Aku tahu kalian pasti lapar karena tak makan dari kemarin. Namun cuma ini yang ada,” ujar pria itu. Aku menyantap nasi itu dengan cepat. Ayah Man U.S tertawa. “Sangat lapar ya,” tanya Ayah Man U.S.
“Bukan. Tapi dalam kondisi perang seperti ini, memang harus cepat,” ujarku beralasan. Ayah Halim mengangguk. Sedangkan pria yang dipanggil ‘U.S’ itu kembali tertawa.
Handphone Ayah Man U.S tiba-tiba berdering. Ia kemudian sedikit menepi. “Siap, siap,” kata U.S berulangkali.
“Teungku Ramli minta Pakwa dan Ayah Halim ke Markas Bang Yan. Katanya ada perlu,” ujarnya saat kembali mendekati kami. Teungku Ramli merupakan panglima daerah 4 Pase.
“Bang Yan Dawood,” tanyaku ulang.
“Iya. Sebentar lagi akan disambut oleh Mawo’,” jawabnya.
Usai salat Shubuh. Mawo’ dan 9 anggota pasukan sudah merapat ke lokasi kami. Mereka datang dengan 6 sepeda motor. Mawo’ sendiri merupakan ajudan khusus Teungku Ramli.
Aku dan Ayah Halim kemudian pamitan dengan Ayah Man U.S dan Jamal. Demikian juga dengan Jamaika. Ia memilih tetap berada di dekat Ayah Man U.S.
“Soalnya di sini mudah jaringan internet dan handphone,” kata Jamaika. Aku memakluminya. Tugas Jamaika memang mengharusnya berada di area yang memiliki sinyal handphone.
Aku membonceng di belakang Mawo’. Sedangkan Ayah Halim dibonceng anggota pasukan lainnya. Mawo’ hanya bersenjata FN. Sedangkan anggota pasukan lainnya memegang AK-47.
Sepeda motor yang kami tumpangi diapit oleh para anggota pasukan. Deru mesinnya seakan memecah suasana pagi Sabtu.
Menurut informasi dari Mawo’, Sofyan Dawood dan jajaran elit Tentara Nanggroe dari Pase serta Aceh Timur sedang di sebuah daerah di antara Bener Meriah, Aceh Utara dan Aceh Timur. Ke sanalah laju sepeda motor kami mengarah.
Sepanjang jalan, kami tak berpapasan dengan TNI. Maklum, lokasi yang kami tuju merupakan markas Sofyan Dawood. Tentu pengawalannya sangat ketat. TNI pun pasti akan berpikir seribu kali untuk mengepung daerah ini. Biarpun sedang berstatus darurat militer.
Rombongan kami sempat beberapa kali berhenti untuk minum kopi atau sekedar menyapa pasukan Nanggroe di pos penjagaan yang kami jumpai di sepanjang perjalanan.
Sekitar 2 jam perjalanan, rombongan akhirnya tiba di dekat hulu sungai Arakundo. Seorang penghubung menunggu di sana. Di dekatnya ada boat tua peninggalan Belanda.
Kami kemudian menggunakan boat itu untuk menyeberang ke Markas Sofyan Dawood yang berada di sisi sungai. Di sana beberapa pasukan pengawal Bang Yan menunggu kami.
Usai memastikan kondisi aku dan Ayah Halim aman, Mawo’ dan pasukannya meminta izin pamit untuk kembali ke seberang. Sedangkan kami diarahkan ke rumah panggung yang hanya berjalan sekitar 300 meter.
Di depan rumah itu, Sofyan Dawood tersenyum melihat kedatangan kami. Ia terlihat duduk di kursi kayu. Di depannya ada meja kecil. Sekitar 4 handphone tergeletak di sana.
“Akhirnya sampai juga,” ujarnya sambil memelukku. Ayah Halim memberi hormat ke Sofyan Dawood yang dibalas dengan anggukan.
“Kalian mandi dan istirahatlah dulu. Usai Dhuhur nanti kita bicara,” ujarnya singkat. Ia kemudian mengambil salah satu hondphone di depan dan mendekatkannya ke telinganya. “Mualem, mereka sudah tiba dengan selamat,” ujarnya. [Bersambung]
Cerita ini merupakan karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post