SAAT cahaya fajar Kamis menyapa. Aku dan Ayah Halim telah siap berangkat. Demikian juga dengan Jamaika.
Semalam, Bang Yan, sapaan akrab Sofyan Dawood, telah memerintahkan kami bertiga untuk bergabung dengan pasukan D4 Pase. Markas ini berada di Jambo Aye, daerah Panton Labu, Kabupaten Aceh Utara.
Kabarnya, pasukan D4 Pase sedang dalam pengepungan TNI.
Untuk mencapai lokasi ini, Apa Syam menyarankan kami menggunakan jalur laut. “Ini untuk menghindari swepping TNI. Nanti seorang penghubung akan menunggu kalian di perairan Krueng Geukueh,” ujar Apa Syam semalam.
Apa Syam juga menugaskan beberapa pasukannya untuk mengawal kami hingga lokasi penyemputan.
Jarak antara Dewantara, markas D1 Pase ke lokasi penyembutan, hanya hitungan menit jika menggunakan sepeda motor. Di sana Ayah Sen, penghubung kami telah menunggu.
Di dekatnya ada boat nelayan berbadan sedang. Ia memegang kantong plastik yang belakangan kami ketahui berisi baju bekas.
“Tolong dipakai ini. Biar mirip nelayan sedikit. Ini juga untuk keamanan jika ada TNI yang patroli,” ujar Ayah Sen.
Kami segera bersalin. Saat boat hendak berangkat, pasukan Apa Syam meminta izin kembali ke markas.
“Saya tak bisa mengantar kalian langsung ke kuala Jambo Aye. Penjagaannya sangat ketat. Hanya bisa ke Blang Me. Nanti di sana ada penghubung lain yang menunggu dengan Speed boat,” ujar Ayah Sen.
“Tidak apa-apa. Sampai Blang Me saja sudah jauh lebih dari cukup,” jawab Ayah Halim. Aku mengiyakan. Kapal yang kami tumpangi bergerak lamban di perairan dangkal. Menurut Ayah Sen ini agar TNI tak curiga terhadap kami. “Boat nelayan ya di perairan dangkal,” ujarnya.
Seperti kata Ayah Sen, seorang penghubung lainnya telah menunggu kami di Blang Me dengan speed boat milik Tentara Nanggroe. Ia bernama Faisal.
Speed boat itu melaju kencang menembus perairan Blang Me hingga kuala Jambo Aye. Kami tiba Kamis siang.
Di kuala, seorang penghubung lainnya telah menunggu. Faisal memberi aba-aba ketika mendekat. Kami kemudian diantar ke markas D4 Pase yang dipimpin oleh Jamal.
“Sehat panglima?” ujar Jamal kepada Ayah Halim begitu kami tiba. Aku dan Jamaika menyusul dari arah belakang.
Kami kemudian diarahkan ke rumah semi permanen yang dijadikan kantor markas Pasukan D4 Pase. Beberapa pasukan yang sedang piket memberi hormat kepada kami.
“Maaf para panglima. Kami tak bisa menyemput di kuala. Bang Yan mungkin sudah menyampaikan. Kalau pasukan kami saat ini sedang terdesak. Kami dikepung oleh TNI,” ujarnya.
Jamal kemudian mengambil peta Aceh Utara lama. Ia menunjukan beberapa koordinat yang ditandai dengan garis merah.
“Dari darat kita sudah dikepung. Sedangkan di laut, ada kapal perang yang siaga. Sudah sepekan ini ditempatkan di sana. Inilah kondisi rill kami di lapangan. Kalau tak ada jalan keluar, maka semua bisa mati. Logistik juga sudah sangat berkurang,” kata Jamal.
Ayah Halim memandangiku.
“Berarti hanya ada dua pilihan. Jalur laut dan darat. Kita harus keluar dari kepungan ini. Jalur darat berarti harus saling berhadapan dengan TNI. Apakah kalian siap?” tanyaku.
“Pilihan darat tak mungkin dengan kondisi saat ini. Saya lebih menyukai laut. Kita keluar dari laut dan kembali ke darat untuk menyerang TNI dari belakang,” ujar Jamal.
“Oke kalau begitu. Kita tempuh jalur laut. Berhubung besok Jumat, TNI akan curiga kalau ada boat yang keluar pagi. Nelayan tak melaut saat pagi Jumat. Kita keluar usai saat Jumat bersama-sama nelayan. Jadi TNI tak curiga,” kataku. Ayah Halim mengangguk. Demikian juga dengan Jamal. “Sepakat.”
Kamis malam berlalu dengan cepat. Kami menanti Jumat siang dengan perasaan was-was. Takut jika TNI menyerang sebelum kami berangkat. Semua pasukan siaga satu. Jumlahnya hampir ratusan orang dengan bersenjata lengkap.
Saat jadwal yang ditentukan tiba, seluruh pasukan merapat ke kuala Jambo Aye. Di sebelah kanan, kapal perang TNI hanya berjarak 500 meter dari tempat kami. Namun tak ada pilihan lain.
Satu boat nelayan dan dua speed boat Tentara Nanggroe telah siaga di kuala. Jamal memberi intruksi agar seluruh pasukan masuk dalam boat nelayan tadi.
“Berangkatlah dulu. Kami mengawal kalian dari darat,” ujar Jamal kepada anggotanya, Suadi. Suadi mengangguk.
Sayangnya, hanya beberapa ratus meter setelah boat tersebut berlayar. Dari arah kanan, dua speed boat milik TNI terlihat keluar dari kapal perang. Speed boat itu melaju cepat sambil menghujani peluru.
Boat pasukan Nanggroe mencoba berbalik arah kembali ke darat. Namun kapal itu tiba-tiba berhenti. Pasukan Nanggroe panik. Beberapa terlihat menceburkan diri ke laut. Ada juga yang membalas tembakan. Suasana terlihat mencekam.
Speed boat TNI terus menghujani peluru. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post