MUSIBAH Tsunami yang menimpa rakyat Aceh pada 26 Desember 2004 merupakan bencana alam terbesar pada abad ini. Selain menyebabkan kehilangan dan kematian ratusan ribu jiwa, juga meninggalkan puluhan ribu anak yatim dan janda serta kerusakan infrastruktur yang parah. Tingginya angka kematian di Aceh mencapai 236.116 jiwa (Serambi Indonesia, 19 Februari 2005).
Pasca tsunami, masuknya lembaga NGO dan bantuan-bantuan sosial kemanusiaan yang memusatkan perhatian negara di dunia. Selain itu, masuknya budaya luar yang menggrogoti adat dan budaya Aceh yang melanggar standar dan nilai masyarakat Aceh.
Melihat kondisi masyarakat Aceh sebelum tsunami sangat mengedepankan nilai-nilai kebudayaan. Karakter masyarakat Aceh pada saat itu belum terkontaminasi dengan budaya luar, sehingga tingkat kehidupan comunality dan kehidupan gotong royong tetap eksis. Proses rekonstruksi sepatutnya juga disesuaikan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Selama ini kita mengenal Aceh sebagai salah satu daerah yang memegang teguh agama sehingga nilai-nilai agama seyogyanya menjadi dasar dalam setiap tindakan kebijakan. Selain dari itu karakter masyarakat Aceh juga cenderung lebih lembut dan ramah sesuai dengat adat kebiasaan orang Aceh.
Kehidupan masyarakat Aceh yang berada dalam lingkaran musibah tsunami, telah mengakibatkan semua masyarakat trauma dan dipenuhi dengan rasa ketakutan. Sebelumnya kita harus mengenal bagaimana karakter asli masyarakat Aceh sebelum tsunami dikenal dengan sikap militansi dan loyalitas.
Namun pasca tsunami terjadi perubahan yang sangat signifikan terhadap watak masyarakat Aceh lebih suka menerima ketimbang memberi. Hal ini lebih jelasnya, banyak bantuan-bantuan sosial yang membuat karakter masyarakat Aceh malas.
Hal itu dapat di lihat maraknya para pengemis yang berkeluyuran di sejumlah ruas jalan di sekitar kota Banda Aceh. Kebanyakan dari mereka datang dari berbagai daerah di Aceh hanya untuk berprofesi sebagai tunawisma. Padahal, tidak semua kalangan pengemis itu cacat fisiknya, tapi banyak juga dari mereka yang memiliki kesehatan jasmani untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Beberapa waktu lalu, masyarakat Aceh dihebohkan dengan seorang pengemis yang membuka lapak judi berupa lembar botol dengan gelang dan memiliki aset kekayaan sebesar Rp.14,584 juta, 37 Ringgit Malaysia, satu paspor, sejumlah botol, puluhan gelang dan satu unit handphone.(Serambi Indonesia, 29/7/15).
Seharusnya, alangkah baiknya pengemis itu ditampung oleh lembaga yang berwenang seperti Dinas Sosial untuk diberi pembinaan dalam bentuk pelatihan keterampilan bagi mereka.
Pada sisi lain, masyarakat Aceh mengalami perubahan dalam berbagai bidang seperti sosial-budaya, ekonomi, infrastruktur dan lingkungan. Terutama, pada Perubahan sosial budaya terdapat pada pandangan masyarakat Aceh terhadap petuah atau kebiasaan-kebiasaan yang telah turun-temurun berlaku dalam masyarakat.
Petuah atau kebiasaan yang dinamakan adat-istiadat (kebudayaan) itu kini mulai dikesampingkan oleh generasi muda kita dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bidang ekonomi jelas terlihat bahwa adanya peningkatan income per kapita daerah Aceh. Masuknya investor-investor dari luar ke tanah rencong untuk menanamkan saham mereka. Dengan demikian, ekonomi masyarakat Aceh bertambah jika dilihat pasca tsunami. Dibuktikan dari Jumlah penduduk miskin di Aceh pasca tsunami, yakni pada tahun 2004 menurut BPS Aceh yang mencapai 28,4 %, perlahan-lahan setiap tahunnya mengalami penurunan, dan data terakhir BPS Aceh mencatat jumlah penduduk miskin di Aceh pada Maret 2015 mencapai 851.000 orang atau 17,08 persen.
Disitu terlihat adanya peningkatan ekonomi rakyat aceh semakin berkembang pasca tsunami. Namun, sangat disayangkan ketika banyaknya bantuan dan meningkatnya taraf perekonomian masyarakat Aceh. Pola pikir masyarakat kita sekarang sudah mulai terfokus pada ekonomi kapitalisme yang ikut melemah nilai-nilai adat dan tradisi sosial budaya masyarakat Aceh.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita menjaga tanah Aceh tercinta dengan penguatan akidah dan pendidikan moral sejak usia dini. Rekonstruksi karakter masyarakat Aceh juga harus didasari oleh kontrol sosial masyarakat. Pemerintah Aceh juga perlu perhatian penuh dan tanggung jawab atas dilema masyarakat Aceh 11 tahun yang lalu.
Selain itu, peranserta dari masyarakat juga harus perlu dioptimalkan, sehingga penguatan karakter generasi muda yang sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku di Aceh terus terjaga dengan baik. Bahkan, keluarga pun perlu untuk memberikan pendidikan awal dalam keluarga dalam rangka terbinanya watak yang ideal terhadap norma-norma yang berlaku.
Tepat pada 26 Desember 2015, mari sama-sama kita mengenang kembali tragedi yang melanda rakyat Aceh pada peringatan 11 tahun Tsunami.
Penulis adalah Jasiran, mahasiswa Sosiologi FISIP Unsyiah.
Discussion about this post