RUMAH itu tergolong kecil. Maklum bantuan tsunami. Sebuah sepeda motor terparkir di depannya. Beberapa bocah saling berkejaran. Jatuh dan kemudian bangun kembali. Wajah mereka terlihat ceria.
Kicauan burung terdengar saling sahut menyahut dari atas pohon mangga. Letaknya hanya beberapa meter di pekarangan rumah.
Memasuki rumah, beberapa lembar foto terpampang di dinding ruang tamu. Salah satunya, terlihat seorang pemuda berpakaian dinas kepolisian. Lelaki tadi memegang dua senjata laras panjang jenis S-1.
Rumah itu milik Ibrahim Arsyad, warga Desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.
Rumah bantuan Uni Eropa ini dibangun di atas lahan miliknya seluas seperempat hektare. Di rumah sederhana inilah, Ibrahim beserta istri dan keempat anaknya mulai menata kehidupannya kembali. Betapa tidak, bencana gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 lalu itu, hampir mematahkan asa lelaki kelahiran Aceh Besar tersebut.
“Ini adalah putra kedua saya, Adi Ibra Saputra yang alhamdulillah baru saja lulus murni di institusi kepolisian. Sekarang sedang menjalani latihan di SPM Seulawah. Hari ini dia pulang karena ingin berziarah ke makam abangnya dan sekaligus untuk merayakan maulid bersama kami,” ujar Ibrahim Arsyad kepada mediaaceh.co, Sabtu sore, 26 Desember 2015.
Saat musibah itu terjadi, Ibrahim kehilangan istri dan ketiga anaknya beserta sanak famili. Pasalnya, sebagian besar sanak keluarganya tinggal dan hidup berdampingan dengannya. Ibrahim mengaku, saat tsunami menerjang Aceh, ia sedang dalam perjalanan ke TPI Lampulo untuk bekerja sebagai buruh angkut ikan.
“Saat itu, istri pertama saya, Rahmi dan ketiga anak saya jadi korban tsunami. Begitu juga dengan ibu, kakak, adik dan keponakan saya karena jarak rumah saya dengan mereka berdampingan. Kala itu, Adi Ibra masih berusia 8 tahun, ia bersama ibu kandungnya, Nazriati sedang berada di rumah neneknya di Blang Bintang,” kata Ibrahim lagi.
Ibrahim mengaku, ia kembali ke desanya dua hari setelah tsunami menyapu bersih kawasan yang terletak sekitar 5 kilometer dari bibir pantai itu.
“Semuanya telah hancur, hati saya luluh seketika ketika melihat kampung saya hancur tak berbekas, cuma masjid yang tersisa. Ribuan mayat terlihat bergelimpangan disana-sini. Bahkan saya tidak tahu lagi dimana letak rumah saya,” kenang Ibrahim lagi.
Ibrahim bersyukur, kepedulian dan uluran tangan dari sejumlah NGO lokal maupun asing membuat ia dan warga Kajhu mulai bangkit kembali. Untuk menyambung hidupnya, Ibrahim terpaksa menjadi buruh bangunan dari pagi hingga siang hari. Sorenya, ia dibantu istrinya membersihkan ladangnya untuk jadikan lahan pertanian.
Dari hasil pertanian inilah, Ibrahim mampu menyekolahkan anaknya hingga ke pendidikan tingkat akhir. Rasa syukur ia rasakan takkala putra keduanya, Adi Ibra Saputra, lulus murni di kepolisian.
“Waktu itu saya pikir itu mustahil anak saya lulus di kepolisian. Sebab saya dan warga disini kembali harus mulai dari nol lagi. Saya ajak istri dan anak saya untuk kembali menetap di Kajhu. Saya katakan kepada istri dan anak saya, apapun yang terjadi, kita tetap bertahan di sini, karena ini rumah dan tanah warisan keluarga kita,” kata Ibrahim. []
Discussion about this post