+++
KAMI hampir sepekan lebih di Kompi D1 Pase. Hampir saban hari letusan senjata terjadi. Baik secara tak sengaja bertemu dengan TNI saat sama-sama patroli atau kadang memang kami nekat menyerang pos mereka.
Siang itu, kami juga mendapat informasi bahwa rumah yang selama ini digunakan sebagai Kantor Sekretariat Wilayah Samudera Pase di Alue Dua, Nisam, Kabupaten Aceh Utara, telah dibakar.
Selang beberapa jam, Rahmad yang juga telah bergabung dengan pasukan D1 beberapa hari lalu, kembali melaporkan kabar duka.
“Rambo syahid, Pakwa,” ujar Rahmad. Ia mantan pasukan pengawal Kantor Wilayah Samudera Pase.
“Ia syahid saat dikepung TNI di rumahnya. Istrinya baik-baik saja. Sudah melahirkan bayi laki-laki,” kata Rahmad lagi.
Aku tak dapat menahan haru. Rambo sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Hampir setahun lebih ia bertugas mengawal Kantor Wilayah.
“Apakah ia sempat melihat anaknya?” tanyaku.
“Kabarnya, hanya beberapa jam setelah anaknya lahir, ia disergap. Karena melawan, akhirnya ditembak mati,” jelas Rahmad.
“Bagaimana dengan Udin yang kutugaskan mengawal Rambo?” tanyaku lagi.
“Ia ditangkap. Namun hingga kini belum diketahui ia berada. Besar kemungkinan juga mengalami nasib yang sama,” jawabnya.
Ayah Halim yang mendengarkan percakapan kami tertunduk. Demikian juga dengan Jamaika.
“Semoga mendapat tempat di sisi-Nya. Anak itu sangat pemberani,” kata Apa Syam tiba-tiba.
“Apakah kita harus melakukan aksi balasan?” Tanya Apa Syam.
“Tak usah Apa. Kita harus tetap fokus pada misi. Lebih baik kita bergeser ke hutan. Aku yakin tempat ini sudah dalam pantauan TNI juga,” ujarku. Ayah Halim mengangguk.
Apa Syam kemudian meminta pasukannya untuk membereskan markas. Hanya hitungan menit lokasi tersebut sudah kosong. Kami mulai bergerak ke hutan. Pasukan pengawal Komisi D1 Pase tetap siaga. Mereka mundur secara teratur dengan formasi pengawalan huruf ‘U’.
“Nanti malam kita harus berikan sedikit kejutan untuk Tentara Indonesia,” kata Ayah Halim. “Siap panglima,” ujar Apa Syam.
Saat magrib tiba, kami menemukan sebuah *rangkang kecil dekat kebun sawit dalam kawasan Dewantara. Di sanalah kami beristirahat sambil mengatur ulang strategi. Apa Syam memanggil semua Tentara Nanggroe Kompi D1 untuk rapat, kecuali yang bertugas mengawal lokasi.
Rapat dimulai usai Isya. Aku meminta pasukan dipecah dalam beberapa kelompok kecil. Masing-masing dipimpin Ayah Halim, aku dan Apa Syam. Sedangkan Jamaika kami tinggalkan di markas untuk bisa berkomunikasi dengan wartawan. Setiap kelompok berjumlah 10 hingga 13 orang.
“Prinsipnya, serang dan lari ke hutan. Kemudian berkumpul kembali di sini,” kataku. Seluruh pasukan mengangguk.
Rapat itu kami tutup dengan doa bersama yang dipimpin Ayah Halim.
Strategi ini ternyata cukup mampuni. Tiga pekan lebih keberadaan kami menjadi momok menakutkan bagi Tentara Republik. Kami menyerang ketika malam tiba, kemudian dalam hitungan menit meninggalkan lokasi. Pada pagi hari, kami berganti kostum seolah ‘petani’ biasa serta bermarkas di perkampungan.
Namun kedatangan ribuan Raider membuat perlawanan TNI kian sengit. Beberapa kali, pertempuran terbuka terjadi tiba-tiba. Tak sedikit, TNI maupun Tentara Nanggroe menuai ajal.
Jumlah kami kian susut. Ditambah lagi dengan informasi banyaknya masyarakat yang menjadi korban. Perintah komandan, kami harus menarik diri ke hutan. Tujuannya, agar masyarakat tak bersalah tak jadi korban.
Minggu malam pekan ke 4 di Kompi D1 Pase, secara tak sengaja jaringan HT milik pasukan kami tersambung dengan TNI. Pasukan meminta aku yang berbicara dengan TNI di seberang sana.
“Apakabar kalian di sana. Baik-baik aja?” suara itu terdengar.
“Ya, Allah masih melindungi kami dari orang-orang seperti kalian. Apa kalian baik-baik saja juga?” tanyaku.
“Ya baik. Namun lebih baik lagi jika di rumah berkumpul dengan anak istri,” jawabnya lagi.
“Kalau begitu pulanglah. Kasihan istri dan anak kalian di rumah,” balasku lagi.
“Tak bisa pulang bos. Perintah kami untuk meleyapkan kalian. Namun kita sama sama prajurit. Siap mati untuk keyakinan masing-masing. Beutoi toh?” jawabnya.
“Apa yang kalian cari sebenarnya? Aceh itu daerah modal NKRI. Tanpa Aceh tak ada NKRI,” ujar TNI itu lagi.
“Sebagai daerah modal, apa pantas Aceh diperlakukan seperti ini? Kalian lihat rakyat kami miskin, sementara hasil alam di bawah ke Jakarta. Pusat telah beberapa mengkhianati Aceh, dari Sukarno hingga Megawati. Tak cukupkah alasan bagi kami melawan?” jawabku.
“Itu aku tidak tahu bos. Kami hanya menjalankan perintah. Doakan kami sehat-sehat saja selama di Aceh,” ujar seberang sana setelah sempat terdiam.
“Doa itu tak mungkin aku ucapkan. Karena kalau kalian sehat, maka kami yang mati,” jawabku.
Suara yang di seberang sana terdengar tertawa. Tawa mereka terdengar banyak. “Ya, aku juga ragu dalam berdoa. Mungkin karena Tuhanku dengan Tuhanmu sama. Entah berpihak kemana Dia dalam perang ini,” ujarnya.
Percakapan tadi pun akhirnya putus.
Aku memilih duduk di atas gundukan tanah. Lokasi ini sekitar 10 meter dari ‘markas darurat’ kami malam itu. Suara jangkrik terdengar merdu. Ditambah lagi dengan percikan air sungai.
Suara nyamuk hilir mudik dekat telinga. Namun suntikan moncongnya tak terasa lagi di kulit kami. “Sudah kebal.”
Handphoneku tiba-tiba berdering. Nama Sofyan Dawood muncul di layar. [Bersambung]
Cerita bersambung ini merupakan karya Musa AM.
Baca juga:
[Cerbung]: Sang Kombatan (1)
[Cerbung]: Sang Kombatan (2)
[Cerbung]: Sang Kombatan (3)
[Cerbung]: Sang Kombatan (4)
[Cerbung]: Sang Kombatan (5)
Discussion about this post