Kami kembali ke desa yang sudah diterjang tsunami. Ibarat nasi tumpeng, hanya beberapa rumah di puncuk desa yang masih kokoh. Sedangkan yang lain rubuh, dan ada yang hanya meninggalkan pondasi.
Sesuai dengan pembagian tugas. Saya bersama 7 tujuh pemuda lainnya menyebar mencari mayat untuk dimakamkan secara massal.
Kelompok lain mulai menggali kuburan dengan alat ala kadar. Sedangkan kaum tengku dan santri membersihkan lokasi masjid guna salat mayat. Kelompok terakhir dipimpin oleh Teungku Tarmizi.
Kami menyisir lokasi tambak yang saat itu sudah rata dengan tanah. Tertimbun pasir laut.
Tidak sulit mencari mayat hari itu. Tiap tiga meter, kami menemukan satu dan dua mayat dalam kondisi yang mengenaskan.
Rata-rata berubah kehitaman tanpa baju. Mereka adalah korban gelombang tsunami pertama yang mengandung air belerang.
Tiap mayat kami angkut berempat. Alat pengangkut hanya memakai pintu rumah yang hanyut dibawa tsunami. Mayat mayat tersebut kemudian dikumpulkan di Masjid Lamnga.
Hanya ada satu mayat perempuan yang saya kenal pasti saat itu. Mayat tersebut bernama Fitria. Sosok ini kami temukan tetap dengan jilbab dan wajah seperti tertidur.
Selama hidup, Fitria adalah rekan pesantren saya di Desa Neuheun, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Ada yang mengatakan karena alim semasa hidup, maka saat meninggal pun dia seperti tertidur.
Kami mengangkut mayat hingga dini hari. Saling bergantian jika ada yang lelah dan mengantuk.
Selama bertugas kami hanya mengomsumsi air kepala yang juga hanyut dibawa tsunami. Maklum, pada hari pertama tsunami, bantuan belum ada sama sekali.
Saya minta izin istirahat pukul 23.00 WIB. Saya tidur di dekat tumpukan mayat yang belum disalatkan. Anehnya, tak ada perasaan takut dan bau yang menganggu.
Selama dua hari usai tsunami. Makanan dan minuman kami hanyalah kelapa.
Secara bergantian terus mencari mayat guna dikebumikan secara massal di dua tempat. Beberapa mayat yang sudah membusuk. Kami kebumikan langsung di lokasi sebelum disalatkan oleh Teungku Tarmizi.
Pencarian mayat baru dihentikan seminggu usai tsunami. Namun penemuan mayat secara tak sengaja tetap berlangsung hingga 4 tahun usai tsunami.
Masyarakat Lamnga bertahap di posko pengungsian hampir 4 bulan lamanya. Bantuan datang dari berbagai negara. Saat itulah rasa persaudaraan dan kemanusian secara jelas terlihat.
+++
KINI 10 tahun usai tsunami. Desa Lamnga kembali bersolek. Rumah yang hancur sudah dibangun kembali. Demikian juga dengan fasilitas lainnya. Beberapa generasi baru mulai muncul dan meramaikan gampong.
Dari Desa Lamnga kini dengan jelas terlihat bibir pantai. Desa gampong Baro hanya tinggal kenangan. Disana hanya tinggal gundukan tanah kosong.
Belasan warga Gampong Baro yang selamat lebih memilih bertahan di bukit Ujong Batee. Sekitar 4 kilometer dari Desa Lamnga. Mereka mendirikan desa baru dengan nama yang sama di sana. Jumlah mereka kini kembali bertambah dengan lahirnya bocah-bocah baru usai tsunami. Kakek saya meninggal setahun usai tsunami. (Selesai)
Baca juga:
Saat Tsunami Menyapu Desa Kami (2)
Saat Tsunami Menyapu Desa Kami (1)
Discussion about this post