SEORANG pria berpakaian loreng mendekat. Ia mengarahkan senjata ke kami. Jarak antara TNI dengan kami hanya sekitar 50 meter. Ayah Halim bersiap menembak. Namun aku menurunkan moncong senjatanya. Aku memberi isyarat bahwa banyak tentara lainnya di belakang pria tadi. Ada belasan orang.
“Tak ada siapa-siapa. Hanya anjing bertengkar,” teriak TNI tadi.
“Kemana mereka? Larinya kok cepat sekali,” ujar yang lainnya dari belakang. Aku dan Ayah Halim saling berpandangan.
Keningnya berkerut.
“Anjing sialan. Buang-buang peluru,” kata TNI tadi sambil melempar ranting pohon ke arah kami. Teman-temannya di belakang tertawa.
“Ayo kembali ke mobil,” ujarnya lagi. Mereka pun berlalu. Aku menarik nafas panjang saat kawanan TNI tadi menghilang dalam tikungan jalan. Mulut Ayah Halim tampak komat-kamit membaca doa.
“Apakah kita seperti anjing Ayah?” tanyaku tiba-tiba.
“Mungkin,” katanya sambil tersenyum. Kami berdiri dan kembali menyarungkan pistol FN. Jamaika juga bangkit serta bergabung dengan kami.
“Apakah ada anjing di sini tadi?” tanyanya. Aku dan Ayah Halim kembali tersenyum.
“Padahal jelas-jelas mereka melihat kita tadi. Kok tiba-tiba kita dibilang anjing,” tanya lagi seperti orang penasaran.
“Sudah tak usah dibahas lagi. Mungkin ini kehendak Allah untuk menyelamatkan kita. Ayo segera berangkat,” ujar Ayah Halim. Aku segera mendirikan RX King dan menghidupkannya. Ayah Halim kembali membonceng di belakang.
Kami pun melaju dengan kecepatan tinggi ke kawasan Dewantara. Di sana, seorang penghubung sudah menunggu. Ia kemudian mengarahkan kami ke markas Kompi D1. Markas ini hanya rumah semi permanen. Letaknya tak jauh dari perkampungan.
Kompi D1 Pase di bawah kendali Apa Syam. Ia memelukku begitu tiba.
“Aku mendengar suara letusan senjata tadi. Aku pikir kalian telah tiada,” ujar Apa Syam.
“Ya. Tapi kami sehat-sehat saja Apa. Tuhan menyelamatkan kami,” ujarku. Ayah Halim dan Jamaika tersenyum.
“Masuklah dulu ke markas kami kalau begitu. Makan lah dulu. Ada nasi dan lauk pauk sederhana,” kata Apa Syam.
“Kami sudah minum di warung Alue Papeun, Kecamata Nisam, tadi pagi. Ada Hari Pekan di sana,” timpal Jamaika.
“Yang aku tawari tadi makan pagi. Bukan minuman,” ujar Apa Syam. “Lagian. Sudah tahu darurat militer mulai berlaku, kok masih sempat-sempatnya ke Hari Pekan?”
“Hanya memantau keadaan Apa. Setelah bubar dari Alue Dua tadi subuh, saya dan Jamaika sepakat bertemu di sana. Ayah Halim juga menunggu kami di sana,” ujarku sambil menunjuk Ayah Halim. Apa Syam bersikap hormat militer dan menyalami Ayah Halim.
Kami berempat kemudian memasuki markas. Seperti kata Apa Syam, nasi dan lauk pauk sudah terhidang di atas meja tamu. Ada kangkung tumis, bandeng bakar, serta kecap.
“Makanlah dulu. Kawasan ini aman dan pasukan D1 sudah siaga di setiap sudut. Perlu beberapa jam bagi TNI untuk masuk ke daerah ini,” ujar Apa Syam. Ayah Halim mengangguk. Demikian juga dengan Jamaika dan aku.
“Saya minta izin patroli dulu. Kewaspadaan harus ditingkatkan selama para petinggi ada di sini,” ujarnya sambil melirik ke arah Ayah Halim. Sedangkan Ayah Halim hanya tersenyum. Kami menghabiskan waktu 30 menit di meja makan. Jamaika kemudian terlihat sibuk dengan komputernya di ruang tamu. Sedangkan aku memilih istirahat di balai kecil belakang markas D1 sambil rebahan.
Aku mengecek satu persatu nomor handphone. Beberapa nomor milik jajaran Tentara Nanggroe masih tersimpan rapi.
Gerak tangan berhenti ketika beberapa nama mahasiswa UGM Yogyakarta muncul di layar. “Masih tersimpan ternyata,” gumamku dalam hati.
Tiba-tiba aku kembali teringat dengan Rani. Sosok wanita Jawa yang cerdas. Ia telah berulang kali menelpon ku sejak kemarin, tapi tak pernah kujawab. Demikian juga dengan pesan singkatnya.
“Haruskah aku membalasnya? Atau aku hapus saja nomornya. Toh dunia kami sudah jauh berbeda saat ini.”
Lamunanku buyar saat Ayah Halim duduk di samping. Ia menenteng senjata FN dan sekotak peluru. Ia mengambil kain lap dari saku celana kiri dan mengosoknya.
“Apa yang kau pikirkan, Pakwa?” ujarnya.
“Tak ada Ayah. Hanya melihat-lihat nomor handphone,” jawabku.
“Posisimu itu sangat penting dalam Tentara Nanggroe. Mualem, Bang Yan dan aku sangat memerlukanmu. Buanglah persoalan pribadi agar konsentrasimu fokus,” ujarnya lagi.
“Aku pernah muda sepertimu. Aku tahu kau sedang galau,” kata Ayah Halim.
“Tidak ada Ayah. Aku hanya ingin mengetahui keadaan para pasukan pengawal kantor wilayah pasca bubar semalam. Apakah mereka baik-baik, terutama Rambo yang pulang untuk melihat istri yang hendak melahirkan,” ujarku.
Ayah Halim tersenyum. Ia masih mengosok senjata FN kesayangannya.
“Biarlah Tuhan yang menjaganya. Bukankah kita telah melihat kekuasaannya hari ini?” kata Ayah Halim. Aku mengangguk.
“Ini baru hari pertama darurat militer. Mungkin ke depan akan banyak lagi keadaan seperti tadi pagi terulang. Semoga Allah tetap bersama kita,” ujarnya pelan. [Bersambung]
Discussion about this post