JARAK Alue Dua ke Alue Papeun, Kecamatan Nisam, hanya kutempuh dalam beberapa menit. Aku segera menepi. RX King kuparkir di dekat sebuah warung yang masih sepi pengunjung. Pemiliknya bernama Pak Samat.
“Masih sepi, pak?” ujarku menyapa.
“Ya. Masih pagi. Hari ini ada Hari Pekan di lapangan. Namun entah ramai orang. Soalnya, semalam Megawati bilang, di Aceh mulai berlaku darurat militer,” ujarnya sambil menunjuk ke arah depan. Di sana ada lapangan bola yang mulai di pasang tenda pedagang keliling.
Aku cuma mengangguk. “Pak Samat ternyata update juga,” gumamku dalam hati.
“Kopi ginseng satu, pak,” ujarku lagi.
Pak Samat kemudian melangkah ke belakang. Selang beberapa menit kembali ke arahku dengan gelas berisi kopi.
“Hari ini saya gratiskan. Anak saya juga Tentara Nanggroe. Semoga Allah melindungi kalian semua,” ujar Pak Samat singkat.
“Amin.”
Kecamatan Nisam merupakan basis Tentara Nanggroe. Hampir sebahagian besar para laki-lakinya bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka. Namun tugasnya yang berbeda-beda. Ada yang hanya sipil, penghubung, petugas radio serta tentara perang.
Aku meneguk kopi ginseng. “Masih panas,” ujarku. Pak Samat tersenyum.
Di arah kiri, Jamaika terlihat sedang memarkir sepeda motor Satria. Ia kemudian menoleh ke arahku sambil tersenyum.
“Kita ngopi dulu,” teriakku dengan nada keras. Jamaika mengangguk.
“Pak Samat, tambah dua gelas kopi hitam,” ujarku. Pria itu tersenyum dan kembali ke belakang.
“Bagaimana keadaan di sini, Pakwa?” ujar Jamaika saat sudah di warung. Ia kemudian duduk di depanku.
“Aman. Sejauh ini belum ada pergerakan TNI.”
Di belakang Jamaika, menyusul Ayah Halim beberapa menit kemudian. Ia merupakan Wakil Panglima GAM Pase.
“Bang Yan, minta saya bergabung dengan kalian di sini. Nanti kita sama-sama memperkuat Pasukan Daerah,” ujarnya. Bang Yan merupakan sebutan Ayah Halim untuk Sofyan Dawood.
Pak Samat kembali ke meja kami dengan dua gelas kopi hitam. Ayah Halim sumbringah. “Memang Pak Samat luar biasa. Belum dipesan, kopi sudah ada,” ujarnya. Pak Samat tertawa lepas mendengar hal ini.
“Kondisi di sini masih aman, Ayah. Tapi kita tak boleh lama-lama. Selesai minum kopi, kita harus langsung bergerak ke Kompi D1 Pase,” ujarku.
Ayah Halim dan Jamaika mengangguk. Kami meneguk kopi dengan cepat. Pak Samat yang mendengar perkataanku terlihat sibuk memasukan beberapa kue yang masih panas dalam kantong plastik ukuran sedang.
“Jangan pak Samat. Anda mencari uang. Nanti rugi,” kataku yang mengerti dengan sikap sibuknya. Ia ingin menghadiahkan kue untuk kami bertiga.
“Tak apa-apa. Sudah saya bilang tadi gratis. Ini saya tambahkan kue untuk di perjalanan nanti. Siapa tahu lapar nanti,” ujarnya dengan nada memohon.
Aku masih enggan menerima. Demikian juga dengan Jamaika dan Ayah Halim.
“Ayolah. Ini bentuk pengabdianku untuk Nanggroe. Ini cuma pengabdian kecil dan belum seberapa dengan kalian yang rela mempertaruhkan nyawa untuk Aceh,” katanya lagi.
Sikap tulus Pak Samat membuat kami luluh. Jamaika menerima kue dalam kantong plastik tadi. Kami meminta izin pamit.
Ayah Halim membonceng sepeda motorku. Sedangkan Jamaika menyusul dengan Satria dari arah belakang. Sepeda motor kami melaju dengan kecepatan tinggi.
Kami mengarah ke Dewantara, perbatasan Aceh Utara dan Lhokseumawe. Tujuannya untuk bergabung dengan salah satu kompi D1 yang bermarkas di sana.
Dalam struktur komando GAM, pimpinan paling tinggi di Aceh adalah Panglima Negara yang dijabat Mualem Muzakir Manaf. Sosok ini paling disegani oleh semua pasukan serta paling dicari oleh TNI.
Di bawahnya ada 17 Panglima Wilayah seluruh Aceh. Di bawah Panglima Wilayah ada 4 Panglima Daerah, kemudian di bawahnya lagi ada 4 Panglima Sagoe, mukim serta jabatan paling rendah adalah gampong. Struktur ini sudah tertata dengan rapi.
“Tum, tum, tum,” suara itu terdengar.
“Ada kontak senjata,” kataku. Ayah Halim mengangguk. Kami menepi dan secepat kilat melompat tiarap ke parit. Aku segera mencabut senjata FN yang terselip di pinggangku. Demikian juga dengan Jamaika.
“Tum, tum….tum…, tum, tum,” letusan senjata kembali terdengar. Kami berusaha mencari tahu sumber suara itu dan siap tembak jika TNI terlihat.
“Tuhan, jika hari ini ajalku. Maka aku siap. Namun jika aku masih berguna di masa depan. Tolong selamatkan kami.” [Bersambung]
Cerita bersambung ini merupakan karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post