Alue Dua, Senin dini hari, pukul 05.00 WIB.
Tentara Nanggroe mulai berkumpul di depan kantor. Mereka berjumlah 25 orang. 15 Berpakaian militer karena sedang piket. Celana mereka terlihat kedodoran. Beberapa malah ada yang berambut gondrong serta berkumis tebal.
Sepuluh anggota lainnya berbaju kaos biasa serta sandal jepit. Aku tersenyum melihatnya.
Mereka berbaris sambil menenteng senjata. Rata-rata memegang AK 47 buatan Rusia. Ada juga yang menggunakan senjata rakitan sendiri.
Rambo memimpin pasukan untuk memberi hormat militer serta istirahat di tempat.
Jumlah tentara ini di luar pasukan tambahan yang ditempatkan Ayah Saridin sejak semalam. Katanya, untuk mengamankan Kantor Wilayah Samudera Pase dari jarak jauh.
Aku melangkah ke depan. Siap untuk memberi arahan terakhir.
“Hari ini merupakan hari terakhir kita bermarkas di sini. Perintah panglima, seluruh pasukan bergabung dengan pasukan daerah mulai nanti pagi.”
“Sebagaimana yang kita ketahui, semalam Megawati sudah resmi menerapkan darurat militer. Saya tahu kita sudah terbiasa dengan perang, namun dengan pengumuman itu, maka perang akan lebih banyak lagi terjadi. Aku minta kalian siap untuk itu. Anggap saja kalau mulai pagi ini kita telah mati.”
“Mulai pagi nanti, kita semakin jauh dari anak istri. Ribuan tentara republik akan memenuhi hutan dan jalan. Lembah dan sungai. Kelengahan kita akan berujung kematian. Maka dengarlah intruksi komando di manapun kalian bergabung nantinya. Berhati-hatilah dan berpegang tangan lah dengan sesama kalian. Siapa tahu ini pertemuan terakhir kita. Arahan selesai,” ujarku.
Rambo kembali bersikap hormat, maju ke depan serta membubarkan apel. Ia kemudian mengikutiku dari arah belakang hingga kami masuk ke ruang kepala sekretariat.
“Pakwa, pasukan Ayah Saridin minta izin untuk kembali ke rumah masing-masing. Sore nanti mereka akan bertemu di kawasan Sawang. Pasukan yang mengawal Billy juga sudah bergerak ke Sawang. Di sana akan disambut oleh Si Inggreh. Di kantor hanya tinggal 17 orang,” ujar Rambo.
“Oke. Kita salat Subuh dulu. Habis salat nanti baru kembali ke daerah masing-masing. Sementara siang nanti sudah harus bergabung dengan pasukan daerah. Aku sendiri akan bersama pasukan Di Teungku Chik Dipaloh, namun lokasinya nanti aku kabarkan,” kataku.
Rambo terdiam. Ia seperti masih ingin menyampaikan sesuatu.
“Istriku hendak melahirkan. Ayah mertua minta aku kembali ke rumah sebentar. Tak ada lelaki lain di sana. Semua sudah bergabung dengan Tentara Nanggroe,” ujarnya.
“Kembalilah kalau begitu. Bukankah sudah kukatakan tadi, kalian boleh kembali ke tempat masing-masing.”
“Sebenarnya aku ingin ikut bersamamu, Pakwa. Demikian juga dengan Udin,” katanya.
“Aku hargai keinginanmu. Tapi prioritaslah keluargamu dulu. Nanti kalau umur kita panjang, kita akan bertemu lagi. Kita sudah seperti saudara. Kau sudah seperti adikku. Namun saat seperti ini, istrimu lebih membutuhkan. Sedangkan bersamaku, kau bisa bergabung kapan saja.”
“Demikian juga dengan Udin. Bilang aku menyuruhnya mengawalmu. Biar Jamaika saja yang ikut bersamaku. Nanti kalau istrimu sudah melahirkan, bergabunglah. Kalian tahu harus mencariku di mana bukan?”
“Siap Pakwa. Ayo kita salat kalau begitu,” ujar Rambo.
Aku mengangguk dan kami pun menuju ruangan kecil yang disiapkan sebagai Musala. Di sisi kirinya ada kamar mandi dan di sanalah kami mengantri untuk berwudhu.
Salat diimami oleh Udin. Bacaaannya terdengar lebih merdu dari biasanya. Ia merupakan alumni dayah di kawasan Batuphat. Saat itulah aku merasa sangat dekat dengan Allah Swt.
***
SAAT cahaya pagi menyapa Alue Dua. Kantor wilayah sudah kosong. Namun jalanan depan kantor juga sepi. Demikian juga dengan warung yang tertutup rapat.
Tiba–tiba nama Rani kembali muncul di layar handphone. Kali ini juga tak kuangkat. Namun pesan singkat masuk ke handphone tak lama kemudian. “Semoga kau baik-baik saja di sana. By Maharani.”
Perasaanku berkecamuk. Namun tugasku sebagai prajurit nanggroe masih banyak.
Pukul 06.70 WIB, dua Pesawat Hawk milik TNI melintas di atas Alue Dua. Suaranya sangat bising.
“Ternyata sudah dimulai.”
Kuhidupkan sepeda motor RX King dan melaju dengan kecepatan tinggi. Aku seakan melayang di Jalan Nisam-Krueng Geukueh. [Bersambung]
Cerita bersambung ini merupakan karya Musa AM.
Baca juga:
Discussion about this post