Alue Dua, Aceh Utara, 18 Mei 2003
Hembusan angin terasa dingin. Pelepah kelapa seakan bergerak mengikuti arah angin.
Tak ada suara binatang seperti biasanya. Bahkan jangkrik pun kompak untuk istirahat.
Cahaya dari rumah penduduk banyak yang sudah lama padam. Mungkin mereka sudah terbuai mimpi. Melepas lelah setelah seharian bergelut di ladang masing-masing. Hanya ada satu dua yang menyala.
Sepi dan gelap…
Aku menarik nafas dalam-dalam. Rokok Dji Sam Soe hanya tinggal separuh.
“Are you okay,” ujar Billy yang muncul dari arah belakang. Ia datang dari ruang tamu. Di sana beberapa prajurit nanggroe sedang menyimak televisi. Mereka menonton iklan pepsodent. Namun raut wajahnya terlihat tegang.
Tangan kanan Billy memegang lensa kamera dan sepotong kain lap.
“Ya Billy. Aku baik-baik saja. Kamu masuklah dan istirahat,” kataku.
Billy sepertinya mengerti apa yang aku pikirkan. Keningnya terlihat berkerut. Ia sudah beberapa bulan bersama kami. Setiap ada peperangan, ia selaku ikut untuk mendokumentasikan.
“Okay. Aku biarkan kamu menyepi,” ujarnya sambil berlalu.
Aku kembali mengisap Dji Sam Soe. Namun rasanya hambar. Mungkin pengaruh angin.
Selang 10 menit, Rahmad muncul dengan seragam militer. Ia menenteng senjata AK 47. Memberi salam komando serta berlalu.
Pria ini sebenarnya lebih tua dari aku. Semangat tempurnya sangat tinggi. Dua adiknya menjadi korban konflik dan jasadnya belum ditemukan.
“Mereka syahid. Aku juga akan menyusul mereka suatu ketika,” teringat ucapan Rahmad beberapa waktu lalu.
“Aku berharap bisa meninggal dalam peperangan. Bisa syahid sebelum perang ini usai,” curhatnya ketika itu.
Ya, kami adalah pasukan nanggroe. Bagi TNI, kami adalah musuh. Demikian juga bagi kami, mereka adalah musuh yang harus saling berhadapan ketika bertemu di lapangan.
Konflik panjanglah yang membuat kami dan TNI berbeda.
“Pakwa, ka rap dimulai,” ujar Rambo tiba-tiba. Nama Rambo hanyalah sandi. Panggilan ini kami semaikan karena postur tubuhnya yang kekar seperti Sylvester Stallone dalam serial Rambo.
Sapaan Rambo membuat lamunanku buyar. Kumasukan puntung rokok dalam asbak plastic serta bergegas memasuki ruang tamu.
Di layar televisi ukuran 47 inci merek Panasonic terlihat Megawati berpakaian batik. Di sisi kanannya ada Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat itu, jam hampir menunjukan pukul 00.00, Senin dini hari. Megawati terlihat membaca teks. “Darurat militer diberlakukan untuk Aceh sejak dibacakan pengumuman ini.” Begitu kira-kira ucapan yang terdengar.
Bagi aku, status Darurat Militer bukanlah suatu persoalan. Selama ini perang tentara nanggroe dan TNI juga terjadi hampir saban hari. Melihat kematian bukanlah barang baru.
Namun bagi masyarat, tentu lain lagi cerita. “Kita akan lebih banyak melihat kematian warga tak berdosa nantinya,” gumamku.
Di luar malam terlihat semakin pekat. Beberapa anggota pasukan terdiam. Mereka seakan sibuk dengan asumsi masing-masing. Pengumuman ini sebenarnya sudah diketahui jauh hari. Namun tetap saja menarik perhatian kami. Billy memandangiku. Sedangkan Rambo terlihat tersenyum.
“Hari besar Pakwa,” ujarnya. Ia mengambil handphone serta menepi. Sedangkan anggota pasukan lainnya kembali keaktivitas masing-masing.
“Mau minum kopi ginseng Pakwa. Biar saya buat sekalian,” ujar Udin dan kubalas dengan anggukan. [Bersambung]
Cerita bersambung ini merupakan karya Musa AM.
Discussion about this post