SOSOKNYA tenang dan ramah, gaya dan tutur bahasanya yang santun benar-benar melekat pada pria ini. Ia adalah Teungku H. Muharuddin. Sosok ini dipercayakan sebagai Ketua DPR Aceh.
Istilah Teungku adalah gelar sapaan bagi laki-laki dewasa di Aceh yang memiliki pengetahuan agama Islam serta dihormati dalam tatanan masyarakat Aceh.
Sebelum terjun ke panggung politik, pria yang akrab disapa Tengku Muhar ini memang aktif di berbagai pusat-pusat pengajian atau dayah di Aceh. Maka, tak heran meski kini mengalami transformasi menjadi anggota legistlatif dengan posisi sebagai Ketua DPRA. Karakternya sebagai “Teungku Dayah” juga tidak pernah berubah.
“Tugas ini merupakan amanah rakyat dan juga amanah Allah, jadi seberat apapun tugas yang kita emban haruslah kita lakukan dengan ikhlas,” ujar Teungku H. Muharuddin.
Keperibadiannya yang santun inilah menjadi modal penting dalam menghadapi berbagai persoalan pelik sekalipun ketika menjadi wakil rakyat lewat Partai Aceh. Hal ini terlihat sejak pertama kali ia ditunjuk oleh Ketua KPA/PA Pusat, Muzakir Manaf atau yang akrap disapa Mualem untuk memangku jabatan sebagai ketua DPRA Sementara pada tahun 2014 lalu.
Saat ditunjuk sebagai Ketua DPRA sementara, Teungku Muhar mulai berperan aktif dan benar-benar menunjukkan sikapnya sebagai pemimpin yang merakyat dengan menyusuri berbagai tempat di Aceh. Salah satunya dengan menelusuri ke berbagai pelosok Aceh, mulai dari Barat-Selatan hingga bagian Utara dan Timur Aceh. Contohnya saat menyalurkan bantuan banjir yang melanda Aceh pada akhir Desember 2014 lalu.
Tak hanya duduk di balik kursi dewan, beliau juga sering turun ke berbagai lini. Bahkan kadang-kadang ia juga menyempatkan diri berada di warung-warung kopi ngobrol bersama masyarakat. Kadang-kadang ia juga mengunjungi dayah-dayah untuk berdiskusi dengan ulama. Sosok yang dikenal humoris ini bahkan juga kadang-kadang juga seringkali berbaur bersama kalangan muda. Tujuannya tak lain hanyalah untuk menyerap aspirasi masyarakat.
“Lewat momen inilah kita bisa mendengar langsung keluhan masyarakat secara transparan tanpa membeda-bedakan kepentingan,” kata Teungku Muharuddin di ruang kerjanya, gedung DPRA, Senin, 16 November 2015.
Teungku Muhar bernama lengkap Teungku H. Muharudddin, S.Sos.I. Ia lahir di Matang Panyang, Aceh Utara, 18 Juni 1978. Putra kelima dari delapan saudara pasangan Teungku H. M. Harun, M dan Hj. Ramlah ini menghabiskan masa kecilnya di kampong halamannya di Desa Matang Panyang, Kecamatan Seuneuddon.
Masa mudanya banyak dihabiskan di pesantren, mulai dari menuntut ilmu hingga dipercaya mengabdi sebagai ustadz pesantren,
“Sejak lulus SMP Alue Ie Puteh di Kecamatan Baktiya, Aceh Utara, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke dayah. Awalnya saya sempat masuk Dayah Salafiah Darul Falah Jeunieb selama 2 tahun, kemudian saya lanjutkan lagi ke dayah moderen Misbahul Ulum di Paloh,” katanya.
Teungku Muhar juga berkisah, semasa mudanya juga menyimpan sejuta kisah pilu saat mendekam di penjara saat dirinya didakwa melakukan tindak pidana makar.
“Karena saat itu saya dituduh sebagai GAM, saya disergap TNI ketika masih menimba ilmu di Pondok Pesantren Moderen Misbahul Ulum, Paloh,” ujar Tgk Muhar.
Mulai Ikuti Ceramah Ideologi GAM
Ideologi ini muncul saat masih menimba ilmu di Pondok Pesantren Moderen Misbahul Ulum Paloh. Perlu diketahui, Pesantren ini terletak di lokasi yang bersebelahan dengan kompleks PT. Arun, sebuah perusahaan gas alam terbesar di Lhokseumawe hingga disematkan sebagai kota Petro Dollar.
“Di sinilah mula-mula ideologi ini muncul di hati saya, seolah-olah saya terpanggil untuk menuntuk sebuah ketidakadilan dari pemerintah. Di sana-sini kita lihat banyak sekali perbedaan antara pekerja PT. Arun dengan masyarakat sekitar dimana ketimpangan ekonomi yang begitu jauh berbeda,” katanya.
Meski mulai aktif mengikuti ceramah ideologi yang dilakukan GAM dan bergabung serta mengikuti latihan militer, pria yang mampu berbicara bahasa Inggris, Arab dan Thailand ini mengaku juga pernah mengikuti latihan militer di camp Langkawi Matang Sijeuek, Aceh Utara di bawah komando Teungku Said Adnan, Gubernur GAM wilayah Pasee pada tahun 1998.
Gagal Kuliah Ke Mesir
Usai menamatkan pendidikan menengah atas pada tahun 2000 lalu, Teungku Muhar mengaku sebelumnya sempat bercita-cita ingin menempuh jenjang pendidikan di Al-Azhar University, Cairo, Mesir. Namun, faktor ekonomilah yang menyurutkan langkah beliau untuk menempuh kuliah ke salah satu Universitas Islam tertua di dunia tersebut.
Gagal ke Mesir, Teungku Muhar kembali ingin mewujudkan tekatnya untuk menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi.
“Saat itu saya sempat ikut tes di Kemenag dengan modal hafalan Al-Quran 3 juz, tapi tetap saja saya tidak lolos meski syarat yang dimintanya hanya 1 juz,” ujarnya sambil tersenyum.
Meski demikian, suami dari Syarifah Rahmah tidak putus asa, melalui tekad dan cita-citanya yang tinggi inilah mampu mendongkrak semangatnya hingga sempat melalang buana ke berbagai negara, seperti Malaysia, Thailand, Kamboja dan Timor Leste. Ia mengaku, salah satu cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan gelar sarjana atau LC adalah melalui jalur suaka politik.
“Saat itulah saya sering mencari berbagai informasi dari kawan-kawan saya yang berasal dari Aceh yang sudah berhasil memperoleh suaka politik. Sewaktu masih di Timor Leste, saya pernah berniat mencari suaka politik ke Australia karena saya dengar prosesnya lebih mudah. Tapi ternyata sangat sulit sekali,” ujarnya lagi.
Selanjutnya, niatnya untuk memperoleh suaka politik ke luar negeri hampir terwujud saat berada di Malaysia dan Thailand. Tgk Muhar mengaku, saat berada di negeri Jiran tersebut, ada sahabatnya yang ingin mengajaknya ke Kanada dan Norwegia melalui proses administratif di kantor UNHCR, Kantor PBB yang menangani masalah pengungsian.
“Tapi ketika diadakan perundingan damai (Cessation of Hostilities Agreement) tahun 2002, saya memutuskan pulang ke kampung halaman karena kangen berkumpul lagi bersama keluarga di Aceh. Tapi sayang, baru sebentar damai, Aceh kembali diterapkan Darurat Militer,” kata Tgk. Muhar.
Menghidupkan Syiar Islam di Penjara
Sepulang dari Thailand, Teungku Muhar kembali mengabdi dirinya sebagai ustadz di Ponpes Moderen Misbahul Ulum. Menurutnya pria yang hobi bertamain takraw ini, aktivitas mengajar nilai-nilai tidak lepas lepas dari aktivitasnya. Bahkan,warga desanya mengenalnya dengan sebutan “Guree Dayah”.
Selain mengajar, Tgk Muhar juga menyempatkan diri menjadi guide bagi jurnalis asing yang ingin meliput situasi Aceh kali diterapkan dalam status darurat militer.
Teungku Muhar juga menjelaskan, saat itu juga pernah mengajak wartawan asing meliput pasukan Inong Balee di wilayah Batee Iliek hingga bertemu Panglima GAM, almarhum Tgk Abdullah Syafi’ie.
“Saat itulah aparat keamanan mulai mencurigai serta menangkap saya di Pesantren karena saya dituduh pro-GAM,” tandasnya.
Masa-masa pahit yang dijalaninya di balik jeruji besi dengan serba ikhlas dan tawakkal. Ia mengaku, meski berada di balik jeruji besi, Tgk Muhar menyempat diri untuk memanfaatkan waktu senggangnya mengajari ilmu agama Islam bagi teman sesama narapidana di penjara.
“Alhamdulillah, saat itu pusat kegiatan islam seperti pengajian dan salat Jumat kian aktif sehingga mendapat tiket haji gratis dari Pemko Aceh Utara,”kenangnya.
Setelah perjanjian damai MoU Helsinki, Tgk Muhar kembali mengabdi di Pesantren serta ditunjuk sebagai Kepala Biro Penerangan KPA Wilayah Pasee. Pada 2005 lalu, Tgk Muhar mendaftarkan diri maju sebagai calon legislatif wilayah pemilihan Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe.
“Alhamdulillah hasilnya saya terpilih dengan jumlah suara ketiga terbanyak. Begitu juga saat mencalonkan diri pada pilkada 2014 kemarin, Alhamdulillah mendapat suara terbanyak di peringkat pertama,” ujarnya lagi. [] (EL)
Discussion about this post