USIA perdamaian Aceh sudah mencapai 10 tahun lebih. Namun banyak kewenangan Aceh yang belum juga disahkan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan UUPA.
UUPA sendiri masih jauh dari kata sempurna serta sesuai dengan MoU Helsinki hasil perjanjian RI dan GAM.
“Kita fokus saja dulu dengan hak-hak Aceh sebagaimana di UUPA,” kata mantan Narapidana Politik (Napol) Aceh, Muhammad MTA, melalui pesan singkat BBM, Sabtu 7 November 2015.
MTA merupakan aktivis Aceh yang pernah dihukum 8 tahun penjara dengan tuduhan makar. Ia di penjara pada 2003 serta bebas karena amnesti.
Sosok ini juga merupakan satu satu aktivis yang pernah tidak mengakui dirinya sebagai WNI dalam persidangannya.
Berikut wawancara wartawan mediaaceh.co dengan Muhammad MTA terkait politik Aceh terkini:
Menurut Anda apa yang menyebabkan banyak keistimewaan Aceh yang belum dituntaskan Pemerintah Pusat hingga 10 tahun perdamaian?
Jika kita tarik ulur pertama-tama saat UUPA disahkan, banyak elemen Aceh yang menolak UUPA tersebut, termasuk GAM saat itu. Bahkan masyarakat sipil saat itu menggelar aksi di Masjid Raya Baiturrahman tentang penolakan UUPA yang tidak sesuai dengan MoU Helsinki.
Namun singkatnya, karena mempertimbangkan Aceh sedang membangun pasca tsunami, pemerintah pusat dalam hal ini Pak JK dan beberapa tokoh terkait melakukan beberapa kali pertemuan penting terkait penolakan.
Kemudian diterima atas beberapa catatan, akan dilakukan revisi UUPA sesuai MoU Helsinki.
Namun kemudian, perpecahan di internal GAM pasca damai, terutama perpecahan tentang pencalonan pilkada, mengakibatkan advokasi revisi ini tidak berjalan, bahkan terlupakan. Ini sangat menyedihkan.
Bisa Anda jelaskan secara mendetail?
Perpecahan ini sangat komplek. Energi semua pihak, terutama GAM dihabiskan pada hal-hal yang tidak substansi lagi.
Disibukkan pada persoalan perpecahan internal. Yang terjadi kemudian adalah isu-isu penyempurnaan UUPA ini kemudian menjadi komoditi politik semata.
Hingga akhirnya, ditambah lagi lahirnya partai politik lokal, terutama PA. Diakui atau tidak, PA telah mengakibatkan UUPA dan MoU Helsinki ini menjadi isu eksklusif bagi mereka. Inilah kegagalan pertama rekonsiliasi Aceh menyeluruh secara politik.
Seharusnya, GAM termasuk PA, harus menjadi pelopor untuk merangkul semua pihak di Aceh, mulai partai politik, pemuda, mahasiswa, tokoh-tokoh Aceh untuk menjadikan UUPA dan MoU itu sebagai milik bersama.
Jadi kalau kita tanyakan mengapa sudah 10 tahun damai, pusat tidak memberikan keistimewaan-keistimewaan itu? Ya itu tadi, sesama orang Aceh saja ribut, jadi susah membangun rasionalitas komunikasi dan kepercayaan pusat.
Dengan kata lain Anda ingin mengatakan bahwa perpecahan GAM menyebabkan kewenangan Aceh di Pusat terkendala?
Ya. Apalagi GAM, terutama PA menganggap damai ini punya mereka.
Apalagi sampai dalam kampanye-kampanye disebutkan selain PA tidak akan bisa meluruskan ini, ya orang lain resisten kan?
Apalagi sampai mngatakan di kampung-kampung bahwa Aceh sebentar lagi bebas dari NKRI, jika bendera sukses kita naikkan. Walau untuk politik propaganda, ini berpengaruh terhadap komunikasi dengan Jakarta.
Jadi ya lebih kepada persoalan komunikasi.
Saat ini jangankan direvisi tapi kewenangan yang ada malah belum diberikan, contoh soal Migas, Bendera dan Wali Nanggroe. Apa pendapat Anda?
Disinilah kita sarankan kepad GAM, terutama PA. Jadikan semua persoalan Aceh ini sebagai isu bersama, jangan eksklusive.
Rangkul semua pihak agar menjadikan hal-hal seperti ini sebagai isu kolektif.
Logikanya kan begitu, jika semua pihak merasa miliknya, bersatu, maka lain nilai komunikasi dengan pusat.
Kita jaga agar tidak konfrontatif, apalagi sampai bahasa-bahasa mengancam. Ada saatnya hal-hal seperti itu dilakukan, Yang penting bersatu.
Saya kira pusat tidak akan bisa menahan hak-hak Aceh, karena itu hak kita, dan mereka wajib memberikan.
Jadi pusat juga tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak memberikan hak-hak kita sebagaimana yang telah termaktub dalam MoU. Karena itu dilahirkan oleh ratusan ribu rakyat Aceh yang merenggang nyawa.
Kayak bendera misalnya, ini persoalan komunikasi. Akibat dinamika politik propaganda di lapangan sangat eksklusif, ya pantaslah jakarta tidak menyetujui, curiga mereka.
Kita juga tidak boleh keluar dari koridor yang sudah disepakati. Kita fokus saja dulu hak-hak Aceh sebagaimana di UUPA, pertahankan itu dan jangan melebihi, karena UUPA tidak sesuai dengan MoU.
Kita perluas nanti ketika UUPA direvisi sesuai MoU Helsinki.
Bagaimana dengan Qanun Wali Nanggroe?
Demikian juga dengan Lembaga Wali Nanggroe, di UUPA bagaimana semangatnya, ya seperti itu. Tidak boleh kita membuat melebihi itu karena bertentangan.
Sampai saat ini saja Wali Nanggroe masih sebagai tuha 4 Partai Aceh, ya gak etis kan? Seharusnya ya keluar dari partai. Apalagi secara nyata mengatakan mendukung Mualem, jadi publik jelas melihat Wali Nanggroe itu punya PA.
Jadi ka meubalot-balot. Ya amburadul, kacau banget.
Belum lagi kita bahas kewenangan Wali Nanggroe saat pertama-tama munculnya Raqan. Jadi hal-hal seperti ini yang harus diperbaiki.
Jika hal-hal kecil tidak bisa kita selesaikan, bagaimana kita ngurus hal-hal besar.
Siapa menurut Anda tokoh yang bisa menyatukan kembali mantan kombatan GAM saat ini?
Yang pertama harus ada tokoh GAM di luar faksi perpecahan. Semisal sekaliber Teungku Nasruddin Ben Ahmed.
Kemudian panglima-panglima GAM, sekaliber Mualem dan Sofyan Dawood. Dan untuk menyatukan hanya dengan cara, tinggalkan dulu isu-isu Pilkada. Bikin pertemuan GAM. Dengan misi re-orientasi perjuangan sesuai koridor perdamaian.
Saya membayangkan mereka bisa mengorientasi diri kembali pada kesejahteraan rakyat dan tidak orientasi berkuasa.
Jika orientasi seperti itu, maka konsolidasi kekuasaan akan lahir dengan sendirinya. Jangan bicara kesejahteraan rakyat, jika sesama GAM saja disibukkan fitnah turun temurun.
Terakhir, harapan Anda selaku mantan Napol Aceh terkait kondisi saat ini apa?
Ingatlah pengorbanan rakyat selama konflik, penderitaan mereka. Ada yang sampai kita bunuh sendiri dengan alasan ingin mensejahterakan seluruh rakyat Aceh. Berapa banyak pemuda-pemuda Aceh yang bersetia kepada GAM dengan menjadi kombantan, berapa banyak janda dan anak yatim yang sampai saat ini hidup morat-marit yang hanya dipedulikan saat meugang dan lebaran saja, yang mungkin jika masih ada suami dan ayahnya akan bisa menjamin masa depannya.
Jadi perlu perenungan yang besar bagi elit-elit GAM saat ini, apa yang sudah dilakukan saat ini. Rakyat itu tidak berharap lebih saat ini.
Rakyat itu seperti orang tua yang telah melahirkan GAM. Sebagai orang tua, jika anak-anaknya sudah besar tidak mengharapkan balasan apa-apa. Jika mereka melihat anaknya akur saling membangun silaturrahmi, di situlah kebahagiaan terbesar orang tua. Tapi jika anaknya sampai berdarah-darah sesamanya, walau kaya raya. Tidak akan pernah ada kemuliaan dan kebahagiaan buat mereka.
Demikian juga rakyat, apalagi uang Aceh yang begitu besar, saya kira bisa kita hasilkan generasi-generasi Aceh yang cerdas, berakhlak mulia, berpendidikan tinggi sampai kemanapun.
Salah urus uang biasa, tapi yang paling celaka adalah mendewakan kekuasaan sampai lupa diri dari mana kita berasal. Semoga Allah membuka jalan kebaikan demi masa depan generasi Aceh yang mulia.
Discussion about this post