BANDA ACEH – Gugatan pasal demi pasal Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) oleh beberapa pihak telah menimbulkan polemic di tengah-tengah masyarakat. Ada beberapa pasal yang saat ini sedang dilayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya pasal 256 soal calon independen yang digugat. Kemudian ada lembaga Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR) yang juga menggugat pasal 235 pemberlakuan hukum syariat Islam.
Terakhir, gugatan terhadap pasal 205 UUPA tentang pengangkatan Kapolda Aceh harus melalui persetujuan gubernur. Ada yang khawatir jika gugatan ini berhasil, maka satu persatu keistimewaan Aceh dalam UUPA hilang.
Seperti apa sebenarnya pasal demi pasal yang tercantum dalam UUPA? Berikut pasal pasal kewenangan Aceh yang tercantum dalam UUPA yang terdiri dari 40 Bab, dengan 273 pasal, yakni:
1. Ketentuan Umum, terdiri atas 1 pasal (pasal 1) dengan 24 butir.
2. Pembagian Daerah Aceh dan Kawasan Khusus, terdiri atas 4 pasal (pasal 2-pasal 5). Dalam pasal 3, ditegaskan tentang batas-batas daerah Aceh, yakni: sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Provinsi Sumut, sebelah timur dengan Selat Malaka, dan sebelah barat dengan Samudera Indonesia.
3. Kawasan Perkotaan, terdiri atas 1 pasal, yakni pasal 6, dengan 7 butir.
4. Kewenangan Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota, terdiri atas 4 pasal, yakni pasal 7-pasal 10. Dalam pasal 8 ditegaskan antara lain bahwa:
- Rencana persetujuan internasional yang berkaitan dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh pemerintah pusat;
- Rencana pembentukan UU oleh DPR RI yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh;
- Keduanya dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh;
- Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh pemerintah pusat;
- Dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan gubernur.
5. Urusan Pemerintahan, terdiri atas 19 pasal, yakni pasal 11 s/d pasal 19.
Dalam pasal 16, ditegaskan bahwa: Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan pemerintah Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi: penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama, penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam, penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam, peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh, Penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
6. Asas serta bentuk dan susunan penyelenggara pemerintahan, terdiri atas 2 pasal, yakni pasal 20 dan pasal 21, antara disebutkan bahwa “penyelenggara Pemerintahan Aceh adalah pemerintah dan DPRA”
7. DPRA dan DPRK, terdiri atas 17 pasal, yakni dari pasal 22 s/d pasal 38.
8. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, terdiri atas 17 pasal, yakni dari pasal 39 s/d pasal 55. Dalam pasal 39, disebutkan dengan tegas, bahwa: “Pemerintah Aceh dipimpin oleh seorang gubernur sebagai kepala pemerintah Aceh, dan dibantu oleh seorang wakil gubernur”.
9. Penyelenggara Pemilihan, terdiri atas 9 pasal, yakni dari pasal 56 s/d pasal 64.
10. Pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota, terdiri dari 10 pasal, yakni dari pasal 65 s/d pasal 74. pasal 67, menyebutkan bahwa “pasang calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam pasal 65, ayat (1), diajukan oleh:
- Partai politik atau gabungan partai politik;
- Partai politik lokal atau gabungan partai politik local;
- Gabungan partai politik dan partai politik lokal;
- Perseorangan
Dalam pasal lain disebutkan bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/ wakil bupati, walikota/wakil walikota, adalah “tidak sedang berstatus sebagai pejabat gubernur/Bupati/Walikota”.
11. Partai Politik Lokal, terdiri atas 21 pasal, yakni dari pasal 75 s/d pasal 95.
Dari beberapa pasal dan/atau ayat yang dikandungnya, menjadi jelaslah bahwa Partai Politik Lokal (parpol lokal) adalah sebagai berikut:
- Dapat dibentuk/didirikan, dengan akte Notaris, oleh sekurang-kurangnya 50 orang WNI penduduk Aceh, yang telah berusia 21 tahun, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%;
- Dapat mempunyai nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak sama dengan nama, lambang dan tanda gambar parpol atau parpol lokal lainnya;
- Asasnya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945;
- Parpol lokal berkewajiban antara lain: mengamalkan Pancasila, UUD Negara RI tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan lain, mempertahankan keutuhan NKRI;
- Dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD Negara RI tahun 1945, atau peraturan perundang-undangan lain, dan juga dilarang melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI;
- Keanggotaannya dapat merangkap salah satu partai politik;
- Untuk dapat ikut dalam pemilu anggota DPRA, parpol lokal harus sudah memiliki pengurus lengkap di 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di Aceh, dan untuk dapat ikut dalam pemilu anggota DPRK, harus memiliki pengurus di 2/3 dari jumlah kecamatan, dalam kabupaten/kota yang bersangkutan, serta mempunyai anggota sebanyak 1/ 1000 (satu per seribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan parpol lokal tersebut;
- Parpol lokal, gabungan parpol lokal atau gabungan parpol dan parpol lokal dapat mendaftarkan pasangan calon gubernur/wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati, atau calon walikota/wakil walikota, apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRA, atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRA di daerah yang bersangkutan
12. Lembaga Wali Nanggroe, terdiri dari 2 pasal, yakni dari pasal 96 dan pasal 97. Pada prinsipnya Wali Nanggroe (WN) adalah kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, dan bukan lembaga politik dan lembaga pemerintahan, serta berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam, maupun luar negeri.
13. Lembaga Adat, terdiri atas 2 pasal, yakni pasal 98 dan pasal 99.
14. Perangkat Daerah Aceh dan kabupaten/kota, terdiri atas 14 pasal, yakni pasal 100 s/d pasal113.
15. Mukim dan Gampong, terdiri dari 4 pasal, yakni pasal 114 s/d pasal 117.
16. Kepegawaian, terdiri dari 7 pasal, yakni dari pasal 118 s/d pasal 124.
17. Syariat Islam dan Pelaksanaannya. Terdiri atas 3 pasal, yaitu pasal 125 s/d pasal 127. Syariat Islam, pada prinsipnya berlaku atau ditaati oleh pemeluk agama Islam di Aceh, namun semua oang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.
18. Mahkamah Syar’iyah, terdiri dari 10 pasal, yaitu pasal 128 s/d pasal 137.
Mahkamah Syar’yah, adalah pelaksana dari peradilan agama Islam di Aceh sebagai subsistem dari peradilan nasional, dan merupakan pengadilan bagi setiap orang Islam yang berada di Aceh. Apabila terjadi perbuatan jinayah oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya bukan beragama Islam, maka pelaku yang bukan Islam tersebut dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum dinayah.
19. Majelis Permusyawaratan Ulama, terdiri dari 3 pasal, yaitu, pasal 138 s/d pasal 140. Tugas majelis ini (MPU) adalah: pertama memberikan fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi, dan yang kedua, memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.
20. Perencanaan Pembangunan dan Tata Ruang, terdiri dari 10 pasal, yaitu: pasal 141 s/d pasal 150. Yang agak menonjol dan patut dicatat dalam hubungan dengan pasal-pasal ini adalah yang berkenaan dengan taman nasional, dan kawasan lindung, serta Ekosistem Leuser, di mana pemerintah pusat menugaskan pemerintah Aceh untuk mengelolanya dalam bentuk: melibndungi, mengamankan, melestarikan dan memulihkan fungsinya, serta memanfaatkannya secara lestari.
21. Komunikasi dan Informatika, terdiri dari 3 pasal, yaitu: pasal 151 s/d pasal 153.
22. Perekonomian, te5rdiri dari 22 pasal, yakni: pasal 154 s/d pasal 173. Hal-hal yang menonjol dalam rangka ini antara adalah:
- Adanya keharusan investor di bidang pertambangan, baik mineral, batubara, panas bumi, kehutanan, dan sebagainya untuk menyediakan dana untuk reklamasi dan rehabilitasi, dan sekaligus kewajiban untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi tersebut;
- Adanya keharusan bagi investor pertambangan tersebut, untuk menyediakan dana bagi pembangunan masyarakat paling sedikit sebesar 1% dari harga total produksi yang dijual setiap tahun;
- Pemerintah pusat dan pemerintah Aceh akan melakukan pengelolaan bersama
sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh, baik dilaut maupun didarat; - pemerintah Aceh berwenang menerbitkan izin penangkapan ikan dan pengusahaan sumber daya alam laut di sekitar Aceh;
- Penegasan kembali tentang tekad untuk membangan kembali Sabang, sebagai pelabuhan bebas dan/atau Kawasan perdagangan bebas, dan akan menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi regional
23. Tenaga kerja, terdiri dari 4 pasal, yakni: pasal 174, s/d pasal 177.
24. Keuangan, terdiri dari 24 pasal, yakni; pasal 178 s/d pasal 201.
Hal-hal yang perlu dicatat dalam rangka keuangan ini, adalah bagian dari Aceh dari berbagai usaha exploitasi dan explorasi SDA yang ada di Aceh, antara lain:
a) Dana bagi hasil:
- Bagian dari penerimaan PBB: 90%;
- Bagian dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB,
sebesar 80%); - Bagian dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh), sebesar 20%
b) Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumberdaya alam lainnya,
yaitu:
- Bagian dari kehutanan sebesar 80%;
- Bagian dari perikanan sebesar 80%;
- Bagian dari pertambangan umum sebesar 80%;
- Bagian dari panas bumi 80%, UU NAD tidak menyebutnya;
- Bagian dari minyak bumi sebesar 15%;
- Bagian dari gas bumi sebesar 30%
c) Tambahan Penerimaan bagi Aceh sebagai Daerah Otonomi Khusus:
- Dari Pertamabangan Minyak Bumi, sebesar 55 %;
- Dari Pertambangan Gas Bumi, sebesar 40 %
Kesimpulannya adalah, bagian yang diterima Aceh dari berbagai sumber penghasilan tersebut, menurut UUPA ini, adalah sama dengan apa yang telah pernah diatur dalam UU NAD (UU No. 18 tahun 2001).
25. Tentara Nasional Indonesia, terdiri dari 2 pasal, yakni pasal 202 dan pasal 203. TNI mempunyai tugas pokok dan tugas lainnya. Yang terkelompok sebagai “tugas lain”, adalah: penanggulangan bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, serta tugas kemanusiaan yang dilakukan setelah berkonsultasi dengan gubernur.
Juga ditekankan bahwa prajurit TNI yang bertugas di Aceh tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia, menghormati budaya, dan adat istiadat Aceh.
26. Kepolisian, terdiri dari 4 pasal, yakni: pasal 204 s/d pasal 207. Di bagian ini disebutkan bahwa pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara RI, dengan persetujuan gubernur, persis sebagaimana pernah diatur dalam UU NAD.
27. Kejaksaan, terdiri dari 3 pasal, yakni pasal 208 s/d pasal 210. Isinya juga hampir mirip dengan UU NAD
28. Kependudukan, terdiri dari 2 pasal, yakni pasal 211 dan pasal 212. Yang menarik dalam bagian adalah adanya rumusan tentang: “orang Aceh”, yakni setiap individu yang lahir di Aceh atau memiliki garis keturunan Aceh, baik yang berada di Aceh, maupun diluar Aceh dan mengakui dirinya sebagai orang Aceh
29. Pertanahan, terdiri dari 2 pasal, yakni pasal 213 dan pasal 214.
30. Pendidikan, terdiri dari 6 pasal, yaitu: pasal 215 s/d pasal 220. Ada beberapa, pengaturan yang patut dicatat, antara lain: bahwa setiap penduduk Aceh berhak mendapat pendidikan yang bermutu dan Islami sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan di bagian lain ditegaskan bahwa: penduduk Aceh yang berusia 7 tahun sampai 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya.
31. Kebudayaan, terdiri dari 2 pasal, yakni: pasal 221 an pasal 222.
32. Sosial, terdiri dari setiap pasal, yakni pasal 223.
33. Kesehatan, terdiri dari 3 pasal, yakni pasal 224 s/d pasal 226
34. Hak Asasi Manusia, terdiri dari 5 pasal, yaitu: pasal 227 s/d pasal 231. Sesuatu yang relatif baru, dicantumkan dalam UUPA ini, adalah tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi, yang disebutkan akan dibentuk dengan diundangkannya UUPA ini. Padahal telah diketahui umum bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di tingkat nasional belum kunjung dibentuk sampai hari ini. Pengadilan HAM juga disebutkan akan dibentuk di Aceh.
35. Qanun, Peraturan gubernur dan Peraturan bupati/walikota, terdiri dari 14 pasal, yakni pasal 232 s/d pasal 245.
36. Bendera, lambang, dan hymne, terdiri dari 3 pasal, yaitu: pasal 246 s/d pasal 248. Sebagaimana telah pernah dirumuskan dalam UU NAD, dalam UUPA juga disebutkan bahwa: bendera daerah sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. Sementara itu ditegaskan pula bahwa bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam NKRI.
37. Pembinaan, Pengawasan dan Penyelesaian Perselisihan, terdiri dari 2 pasal, yaitu: pasal 249 dan pasal 250. .
38. Ketentuan Lain-lain, terdiri dari satu pasal dengan 4 butir. Nama Aceh yang telah pernah dikukuhkan dengan UU NAD sebagai “Nanggroe Aceh Darussalam”, maka dengan UUPA ini akan ada kemungkinannya untuk berubah dan akan ditentukan nanti oleh DPRA, setelah pemilu tahun 2009.
39. Ketentuan Peralihan, terdiri dari 17 pasal, yaitu: pasal 252 s/d pasal 268.
40. Ketentuan penutup, terdiri dari 5 pasal, yaitu: pasal 269 s/d pasal 273. [] mediaaceh.co
Discussion about this post