MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Ketua Fraksi Partai Aceh di DPRA, Iskandar Usman Al-Farlaky mengatakan, Menteri Dalam Negeri (Medagri) tidak dapat mencabut atau membatalkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
“Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang pembentukan produk hukum daerah, maka tidak ada lagi persoalan dengan qanun bendera secara regulasi sudah, tinggal saja komitmen politik pusat,” kata Iskandar, Jumat 2 Agustus 2019.
Ia menjelaskan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 yang diundangkan pada 25 Maret 2013 ini telah pernah pula dijudicial review ke Mahkamah Agung pada tahun 2016 karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
“Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 47P/HUM/2016 menyatakan permohonan keberatan hak uji materiil dari pemohon tidak dapat diterima. Ke depan ruang eksekutif review berupa pembatalan Perda/Qanun oleh Menteri melalui Keputusan Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 251 UU Nomor 23 Tahun 2014 sudah tergusur dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016. Mulai saat itu, Menteri Dalam Negeri tidak dapat lagi mencabut Perda/Qanun.”
Keputusan pembatalan Perda/Qanun ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda/Qanun tersebut.
“Bilamana Provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan tersebut, maka dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Akan tetapi jika pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda/Qanun dimaksud, maka Perda/Qanun dinyatakan berlaku,” kata Iskandar.
Selain itu, mantan Aktivis UIN Ar-Raniry ini mengatakan, Qanun Nomor 3 Tahun 2013 ini lahir sesuai proses menurut rezim Pemerintahan Daerah yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan tidak pernah dikeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkannya.
“Dalam konteks ini, Menteri tidak dapat menetapkan keputusan membatalkan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 dengan menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, sebab dalam pembentukan sebuah Qanun, mulai rancangan, persetujuan, penetapan/pengesahan, pengundangan, pembatalan dan pengujian diikat oleh waktu (jumlah hari) dan tunduk pada undang-undang yang berlaku saat itu,” ujarnya.
Ia menjelaskan, Undang-undang tidak berlaku surut (non retroaktif/ex post facto), tapi prospektif ke depan. Sehingga Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang telah dibentuk melalui proses yang diatur berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, tidak dapat dibatalkan dengan argumen bahwa proses pembentukannya tidak sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014.
“Eksekutif review dalam bentuk pembatalan dengan keputusan Menteri (Pasal 251 ayat (4) UU Nomor 23/2014) tidak dapat dilakukan atas Qanun bendera dan lambang tersebut, pilihan yang tersedia adalah Judicial Review ke Mahkamah Agung,” kata Iskandar.[Parlementaria]
Discussion about this post